jeongcheolpride

hari sudah semakin sore dan matahari juga tampak malu-malu bersembunyi dibalik awan. angin yang berhembus sedikit lebih dingin dari biasanya, tanda sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. sudah berapa helai rambut yang terus-terusan mengganggu penglihatannya, ia sampirkan ke balik telinga dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang cup kopi yang sengaja ia bawa kesana, taman rooftop rumah sakit, untuk sedikit menghilangkan penat dengan memandang hiruk-pikuk perkotaan dari atas sana ditemani cuaca yang menjadi favorit setiap orang.

tempat ini, tempat yang sebenarnya hanya mengingatkannya pada satu orang. tempat ini, tempat yang menjadi saksi dari ungkapan cinta kedua insan yang tengah dimabuk asmara pada waktu itu. dan sekarang tempat ini juga, kembali menjadi saksi bagaimana seseorang sedang berdiri dengan pandangan kosong, seperti menerawang menembus awan, meminta perhatian bahwa dirinya sedang bersedih, hatinya benar-benar patah dan langit seperti ikut bersedih bersamanya.

jeonghan, lagi-lagi menangis tanpa suara..

***

“han?”

jeonghan yang mendengar seseorang memanggilnya langsung menghapus air matanya tanpa merubah sedikitpun pergerakan tubuhnya. lalu ia menoleh ke sumber suara, dan orang itu adalah...

“mingyu?”

mingyu hanya tersenyum dan menghampiri jeonghan.

“kok lo tau gue disini?”

mingyu terkekeh “ya tau. lo akhir-akhir ini tuh terlalu memforsir kerja, gue tau lo stress banget pasti..

dan ini kan tempat kita bertiga kalo lagi stress dan penat banget.”

“ahh iya bener.” jeonghan hanya tersenyum setelahnya

suasana hening sesaat

“lo kenapa lagi?”

“huh? gak.. gak papa kok. cuma penat aja, cuaca juga lagi bagus. jarang-jarang jam segini bisa duduk disini. biasanya panas banget kan?”

“iyasih.. hari ini mendung yaaa” sahut mingyu dengan pandangannya lurus menatap ke awan.

“lo sendiri kenapa belum pulang gyu?”

“ah iya, ini.. tadi Prof. Jae minta tolong gue ke rumah kerabatnya gitu. kayanya pasien komplikasi deh. gue mau ajakin lo, lo temenin gue ya?”

“dimana gyu?”

“gak jauh kok, deket apart gue juga”

“uhm.. okay. berangkat sekarang?”

“kalo lo bisa sekarang ya sekarang han. biar ga kemaleman juga.

lo bawa mobil ga?”

“kebetulan ga bawa sih, lagi mager nyetir gue. yaudah gue ambil tas dulu ya”

“okay.. gue tunggu dimobil ya”

***

“terima kasih dok sudah berkunjung.”

“sama-sama bu. bapak tidak apa apa itu, hanya butuh istirahat yang cukup dan jangan terlalu lelah. saya sudah resepkan beberapa obat dan ada vitamin juga, langsung ditebus ya bu supaya bapak bisa minum nanti selepas makan.”

“baik dok. sekali lagi terima kasih ya dok”

mingyu dan jeonghan hanya mengangguk “baik kalau begitu kami permisi dulu bu.”

“baik dok” wanita paruh baya itu mengantar jeonghan dan mingyu sampai ke depan rumah. namun heran saat tak menemukan kendaraan apapun disana.

“loh dokter kesini naik apa?” tanya wanita paruh baya tersebut.

“kita jalan kaki bu, apart saya pas banget diujung jalan dekat komplek sini. sekalian kami mau makan direstoran jepang didepan sana jadi saya ga bawa kendaraan”

“oh begitu. gimana kalo dianter supir saya aja?”

“gak usah bu gak papa. kita emang pengen sambil jalan-jalan juga. kita permisi ya bu”

wanita itu hanya mengangguk dan setelahnya mingyu dan jeonghan pergi dari sana.

suasana hati jeonghan masih saja terlihat suram. mingyu hanya menatapnya dengan kasihan. namun tak lama setelahnya hujan turun dengan begitu deras. mereka yang kaget langsung berlari menuju halte bis didepan jalan.

“yah gyu.. hujan nih gimana?

baju gue basah semua ini”

“yaudah ke apart gue aja dulu yuk, lo ganti baju dulu”

“ke apart lo makin basah dong kita”

“ya jadi mau kemana? ga mungkin kita ke resto ramen dengan basah kuyup gini”

“ih lo mah.. udah gue bilang tadi bawa mobil aja malah mau jalan kaki”

mingyu hanya tertawa melihat jeonghan saat ini, kemudian ia menarik tangan jeonghan dan kembali berlari menuju apartemennya yang letaknya tak jauh dari sana.

tak lama keduanya tiba didepan unit mingyu berada, mereka benar-benar kuyup saat ini. seketika jeonghan teringat pada seseorang yang sudah hampir sebulan ini mengganggu pikirannya. apakah dia akan bertemu orang itu sebentar lagi?

mingyu membuka pintu unitnya dan masuk, sedangkan jeonghan masih diam tak bergeming didepan pintu.

“han? ayo masuk”

jeonghan hanya diam menatap mingyu penuh ragu. seketika ekspresi mingyu berubah dingin.

“dia gak ada.”

“hah?”

“lo takut ketemu Mas cheol kan? dia gak ada.” ucap mingyu sedikit dingin.

lalu mingyu masuk dan meninggalkan jeonghan disana. jeonghan terlihat masih bingung. 'ah mungkin dia ada flight' pikirnya. setelahnya ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

dan.. sepi.

itu yang jeonghan rasakan saat ia masuk.

setelah selesai mandi dan mengganti bajunya, mingyu keluar dari kamarnya membawa kemeja dan celana serta dalaman —yang masih baru— untuk jeonghan pakai. tentu saja kemeja itu akan kebesaran saat jeonghan memakainya. jeonghan pun membersihkan dirinya dan mengganti bajunya.

mingyu sedang menyeduh dua gelas coklat hangat saat jeonghan sudah mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah itu. ia hanya tersenyum geli melihat jeonghan yang tenggelam dibalik kemejanya.

“kegedean gyu hehe” ucap jeonghan saat menyadari mingyu menertawainya.

mingyu pun duduk disampingnya dan memberikan satu cangkirnya pada jeonghan. “nih.. diminum dulu.”

keduanya menyesap coklat panas dalam diam.

“han..”

jeonghan menoleh

“Mas cheol udah gak di jakarta.”

“ohh”

“maksud gue.. dia udah ga tinggal di jakarta lagi. ga tinggal di apart ini lagi. dia pindah tinggal sama ayah bunda di jogja.”

Deg

jeonghan terdiam. hal yang barusan ia dengar benar-benar memperburuk suasana hatinya. matanya kembali berkaca-kaca.

“han..” mingyu mengambil tangan jeonghan untuk ia genggam. “lupain aja ya. pelan-pelan. gue bantu..”

jeonghan masih tak bergeming

“han gue bener-bener ga tahan liat lo kaya gini terus.”

air mata jeonghan pun lolos, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Shit! Mas cheol brengsek”

jeonghan mengangkat pandangannya menatap mingyu, terkejut “mingyu?!”

“apa? lo mau bela Mas cheol lagi?”

“dia gak brengsek! gue yang brengsek” dan jeonghan menangis sejadi-jadinya.

“han.. please—

“engga gyu, gue—” jeonghan menunjuk dirinya sendiri “gue yang jahat sama dia.”

mingyu tidak tahan melihatnya, ia pun menarik jeonghan kedalam dekapannya. ini yang paling ia benci, jeonghan selalu saja berakhir menangis seperti ini kalau sudah membahas tentang seungcheol.

“gyu hiks gue juga cape hiks kaya gini terus”

“sshh han..” mingyu menjauhkan dirinya untuk menatap wajah jeonghan, ia tangkup wajah itu dengan kedua tangannya dan ia usap air mata yang masih saja mengalir itu. “udah ya. lupain pelan-pelan, lo pasti bisa. gue bantu, ya? gue bakal buat lo lebih bahagia setelah ini, okay?”

jeonghan tak menjawab. tangisnya sudah mereda hanya saja air matanya masih sesekali mengalir.

“udah yaa.. udah” mingyu kembali menghapus air mata itu. pandangan mereka bertemu. mereka saling menatap cukup lama. tanpa sadar ada salah satu yang mengikis jarak diantara mereka. sedikit lagi mungkin tak berjarak kalau bukan karena ponsel jeonghan yang tiba-tiba berdering hingga membuat jeonghan sadar dan menarik dirinya cepat.

“h-han.. sorry”

“it's okay gyu.

gue mau pulang. hujannya udah reda.”

“ah iya bentar gue ambil kunci mobil dulu—

“gak usah gyu. gue pulang sendiri aja.”

mingyu tahu, jeonghan berusaha menghindarinya. dan mingyu akan membiarkannya dulu.

“ya udah tapi hati-hati yaa.. kabarin gue kalo lo udah sampe rumah.”

jeonghan hanya mengangguk dan mengambil tasnya yang ia letakkan di meja dekat pintu utama. lalu ia berpamitan singkat dan melesat keluar dari sana. meninggalkan mingyu yang mengusak rambutnya dengan kasar. ia takut jeonghan akan risih dengannya setelah ini..

New York, Oct 28 2021

seungcheol hanya mendengus saat membaca pesan dari adiknya. mingyu terlihat begitu marah saat ini, entah mengapa adiknya jadi sebegitu marahnya padahal ia belum benar-benar mendengarkan ceritanya dari sisi seungcheol. ia juga menjadi khawatir pada mantan kekasihnya itu tapi ia menjadi sedikit tenang karena ada mingyu disana yang menjaganya.

seungcheol baru saja landing saat ia membuka pesan dari adiknya itu. ternyata pesan itu dikirim kemarin dan ia baru melihatnya hari ini saat menghidupkan ponselnya. seungcheol sengaja mematikan ponselnya karena ia yang sedang bekerja dan juga benar-benar ingin menenangkan diri. ia memutuskan untuk tidak membalasnya karena tidak ingin bertengkar dengan mingyu. namun tak dapat dipungkiri pesan itu menyambut harinya dengan suram.

“capt?

capt cheol?”

satu suara membuyarkan lamunan nya.

“eh.. sudah beres semuanya?”

“sudah capt. ini saya bawakan juga koper capt nya”

seungcheol menggaruk pipinya yang tak gatal “ah maaf.. saya jadi lupa sama koper sendiri.”

orang itu hanya terkekeh menanggapi. “it's okay, capt.” lalu mendudukkan dirinya disamping seungcheol.

“capt nginap dimana malam ini?”

“uhm.. saya kayanya mau cari hotel yang lebih dekat ke kota. kamu?”

“saya mungkin yang deket sini aja capt”

seungcheol hanya mengangguk.

“lusa masih penerbangan sama saya kan?”

“iya masih capt. 10 hari kedepan kayanya sama capt terus nih”

ya, orang itu adalah co-pilot baru yang selalu bertugas bersama seungcheol. seungcheol diberi tanggung jawab untuk membimbing sang co-pilot sampai benar-benar mahir dan menjadi pilot sepertinya.

“capt?”

seungcheol menoleh. “ya?”

“maaf kalau saya lancang tapi sepertinya.. suasana hati capt sedang ga baik?”

“keliatannya begitu?”

pria disebelahnya mengangguk. seungcheol hanya tersenyum kecut.

“uhm.. saya bersedia loh kalo capt mau cerita.”

“haha kamu jangan kaku banget. kalo diluar jam kerja jangan panggil saya capt”

“gak papa saya lebih suka begini capt.”

seungcheol terkekeh. “itu... saya gak papa kok”

“capt pikir saya percaya?

saya hampir sebulan loh bareng capt terus. ya ga penuh sebulan sih, soalnya kan ada liburnya tapi.. kata anak-anak capt ga pernah ambil liburnya. uhm.. saya tau sih pasti ada yang ga beres cuma ya saya tunggu capt cerita aja”

seungcheol lagi-lagi tersenyum kecut. “gitu ya?”

pria disebelahnya mengangguk.

seungcheol memang terlihat sedikit kacau belakangan ini. sang co-pilot yang sudah terbilang cukup mengenal sosok partner kerja nya itu memang merasa ada yang berbeda dari sang capt. seungcheol memang terlihat rapi dan wangi seperti biasanya, namun wajahnya begitu lesu dengan kantong mata yang semakin hari kian jelas terlihat. dan tentu saja hal itu menyita perhatian beberapa awak maskapai terutama dirinya.

pernah diam-diam sang co-pilot memergoki sang capt sedang menangis. hanya menangis dalam diam. dan ketika ia mencoba menegur seungcheol, pria itu buru-buru menghapus air matanya. walau pergerakannya tak terlalu terlihat tapi ia tahu, sang capt memang sedang menangis.

untungnya seungcheol adalah seorang yang profesional. ia benar-benar akan berkonsentrasi penuh saat bekerja. namun auranya akan berubah sendu ketika ia kembali pada kehidupan biasanya.

“capt”

lagi-lagi pria disampingnya membuyarkan lamunannya

“capt bisa cerita sama saya kalo capt mau”

seungcheol menghela nafasnya pelan

“saya cuma lagi bingung, sama pilihan saya.”

“maksudnya capt?”

“saya sedang lari. lari dari semuanya. bagi saya semua sudah berakhir dan terlalu sakit untuk tetap stay karena yang saya ingat hanya dia dan dia saja.

saya bingung apa keputusan saya sudah tepat?”

pria disampingnya tampak kebingungan.

“haha.. saya baru putus dari pacar saya”

dan pria disampingnya hanya menanggapi dengan membentuk mulutnya seperti huruf 'o'. seungcheol terkekeh melihatnya. pria disampingnya pun ikut terkekeh.

keduanya lalu terdiam cukup lama..

sampai sang co-pilot membuka suara,

“life goes on, capt. stay if you think you deserve to stay. atau sebaliknya.

saya memang gak tau masalahnya apa. tapi saya percaya, capt pasti gak asal ambil keputusan.”

seungcheol hanya tersenyum menanggapinya.

“saya disini capt. capt bisa cerita apapun ke saya yaa”

seungcheol terdiam cukup lama, lalu ia menoleh sambil tersenyum hangat.

“thank you, Jisoo”

hari sudah semakin larut dan jeonghan masih disini, diruangannya, terduduk lemas karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. lebih tepatnya menyibukkan diri agar lupa dengan seseorang yang masih saja menghantui pikirannya.

ia bingung pada dirinya sendiri. untuk sejenak ia merasa ia tidak melakukan kesalahan, tetapi hatinya terus merasa bersalah. ia tahu egonya sangat besar tapi ia pun tak melakukan apa-apa. ia pikir seseorang itu tidak akan mengiyakan ajakannya untuk mengakhiri hubungan mereka dengan gampang. namun lihatlah saat ini, kenyataannya adalah hubungan mereka benar-benar kandas. begitu saja.

dan disinilah jeonghan, terduduk kian lemas dengan segala pikiran yang berkecamuk. selama bekerja, ia akan berlaku profesional. mengesampingkan segala rasa sakit dan sedihnya untuk tetap fokus pada pekerjaannya. namun pada akhirnya tubuhnya juga akan lelah, terutama hatinya. setiap pekerjaannya selesai, ia akan mulai kembali pada pikiran-pikirannya yang berkecamuk itu, dan kembali pada dirinya yang murung.

hingga tanpa terasa air mata nya mulai menggenang di pelupuk matanya. ia teringat orang itu. seseorang yang belakangan sangat ia rindukan terlepas dari semua rasa kecewanya pada keputusan orang itu.

'kenapa sih kamu segampang itu ngiyain ajakan bodohku?'

'kenapa kamu ga nyariin aku abis itu?'

'kenapa kamu ga ada kabarnya sama sekali?'

dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lainnya.

jeonghan menutup mulutnya berusaha meredam suaranya. ia menangis. tanpa suara. napasnya tercekat. hatinya sakit. ia merindukan orang itu, Choi Seungcheol.

***

mingyu mematikan lampu ruangannya, kemudian keluar dari sana hendak pulang karena sudah waktunya. ia pun menutup pintu ruangannya dan tak lupa menguncinya.

hari ini sangat melelahkan. ia harus lembur karena operasi dadakan yang baru saja ia kerjakan.

mingyu menyusuri lorong rumah sakit itu, sudah sangat sepi dan sedikit gelap disana. bulu kuduknya berdiri. ia —yang notabene nya penakut— paling benci rumah sakit saat larut seperti ini tapi ia terus saja berjalan dan berusaha mengabaikan rasa takutnya. namun ia mengernyit heran saat dari kejauhan ia melihat pantulan cahaya yang berasal dari ruangan jeonghan. bukankah jeonghan sudah pulang?

ia berjalan mendekat hingga sampai didepan pintu itu. ia pun membukanya pelan dan benar saja, jeonghan masih ada disana. duduk di sofa maroon yang ada diruangannya dengan sedikit tertunduk dan bahu yang sedikit bergetar. mingyu tahu, jeonghan sedang menangis. mingyu juga tahu, jeonghan sedang tak baik-baik saja.

“han?”

jeonghan tersentak kaget dan buru-buru menghapus air matanya.

“gyu? lo kok masih disini?”

mingyu tak menjawabnya dan malah langsung mendudukkan dirinya disamping jeonghan.

“kenapa nangis sendirian?”

pertanyaan mingyu sontak membuat mata jeonghan kembali berkaca-kaca. namun ia menahannya dan mengukir senyum -terpaksa- nya.

“gue gak nangis kok?”

“lo kira gue percaya?”

jeonghan terdiam.

“lo tau, lo bisa cerita apapun itu ke gue han.

jangan sedih sendirian. gue gak suka.”

mendapat perhatian seperti itu membuat jeonghan benar-benar tak dapat menahan air matanya untuk tidak jatuh kembali. air matanya kini benar-benar mengalir deras. melihat itu, mingyu menarik jeonghan kedalam dekapannya.

hiks hiks gyuuu... gue harus apa sekarang? hati gue sakiiiit banget hiks” jeonghan menangis sejadi-jadinya dalam dekapan mingyu.

mingyu hanya mengusap punggung jeonghan, menenangkannya.

“nangis han. lo boleh nangis semau lo. dipelukan gue.

tapi janji abis ini lo gak boleh sedih lagi.”

jeonghan masih saja sesegukan dipelukan mingyu. ia benar-benar melepas semua kesedihannya dipelukan seseorang.

“kalo lo ngerasa capek dan mau nangis kaya gini lagi, panggil gue. ada gue. cukup sama gue lo bebas mau nangis semau lo dan gue gak akan larang lo untuk nangis sebanyak yang lo mau.”

jeonghan mengangguk dalam dekapan mingyu. untuk saat ini yang ia butuhkan memang sebuah pelukan. dan pelukan mingyu begitu hangat. jeonghan juga dapat mencium wangi tubuh mingyu yang mampu menenangkannya. mirip dengan wangi tubuh seseorang yang sangat ia rindukan.

dan ia benar-benar bisa melepaskan segalanya, bersama mingyu.

setengah jam berlalu dan mereka masih pada posisi ini. jeonghan tak lagi menangis tapi masih kesulitan mengatur napasnya. ia masih sesegukan. mingyu membiarkannya. menunggu jeonghan sedikit tenang.

hingga beberapa menit kemudian, suasana benar-benar hening. kemudian jeonghan melepaskan dirinya dari mingyu.

“gyu maaf dan... makasih.”

mingyu hanya tersenyum. “anytime, han.”

“gue anter lo pulang ya, jangan pulang sendiri.”

“tapi gue bawa mobil?”

“tinggalin aja disini. besok lo bawa pulang. besok pagi biar gue jemput ke rumah sakitnya.”

jeonghan hanya diam.

“gue anggap lo setuju. udah, gue ga nerima penolakan.”

kemudian mingyu bangkit dan mengambil tas jeonghan yang sedari tadi diatas meja kerjanya, memasukkan ponsel dan beberapa barang kedalamnya lalu menyerahkannya pada jeonghan. jeonghan hanya diam menerima perlakuan itu. lalu mingyu menyodorkan tangannya.

“yuk. pulang sama gue..”

Nikahan sepupu

jeonghan saat ini sedang berbincang dengan keluarga besarnya. sebenarnya ia sedikit terganggu dengan situasi saat ini, dimana para om-tante-nya yang terus-terusan bertanya 'han kapan nyusul?' 'han udah ada calonnya?' ''mau om kenalin sama anaknya temen om gak?' dan banyak lagi pertanyaan soal dirinya yang masih belum menikah.

ditambah dengan suasana hatinya yang belum cukup baik mengingat hubungan dirinya dan seungcheol sedang dalam situasi yang sedang tidak baik-baik saja.

jeonghan pun hanya menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan senyum manisnya yang sebenarnya dipaksakan.

sampai tiba-tiba ican memanggilnya, “kak han.. itu Mas cheol baru dateng didepan” dengan wajahnya yang ceria.

jeonghan mematung. ia kaget karena bahkan ia tak memberi kabar apapun soal acara ini tapi bagaimana bisa— 'ah iya kan ibu katanya mau ngechat Mas cheol' batinnya.

namun ada hal lain yang lebih membuatnya kaget ketika tiba-tiba ibunya mengenalkan seungcheol pada keluarga besar mereka. sebenarnya ia senang dan akan sangat bangga mengenalkan pacarnya tapi tidak dalam keadaan seperti ini. disaat hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja.

seungcheol menyalimi satu persatu keluarga besar jeonghan dan mendapat sambutan hangat disana.

“oh jadi ini pacar kamu toh han?” ujar salah satu om nya.

“wah ganteng loh kak. pilot lagi.” sambung salah satu sepupunya dengan nada ngeledek

“iya mana kalian cocok banget loh, coba agak rapetan dong” sahut sang tante yang langsung mendorong pelan jeonghan —yang posisinya sedikit berjauhan dengan seungcheol— hingga bahu keduanya bersentuhan. jeonghan dan seungcheol terlihat kikuk dan hanya memaksakan senyum mereka.

tak lama kemudian sang MC acara pernikahan tersebut memanggil para tetua keluarga besar untuk foto bersama sehingga meninggalkan para muda-muda disana. beberapa sepupu jeonghan pun hanya sibuk dengan ponselnya, ada juga yang ikut berfoto ke atas pelaminan, dan disinilah jeonghan dan seungcheol yang kembali terdiam tanpa ada satupun yang membuka percakapan. ican dan kwan yang melihat itupun ikut merinding dibuatnya, mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan keduanya karena sungguh suasana begitu dingin diantara seungcheol dan jeonghan.

ibu jeonghan yang sedang berfoto diatas pelaminan pun bahkan ikut terfokus pada mereka yang saat ini hanya duduk diam tak berbicara pada satu sama lain. ibunya bisa menangkap sinyal bahwa ada yang tidak beres diantara mereka karena jeonghan yang berbohong soal seungcheol yang sibuk tapi sebenarnya tidak. tapi tak lama ibunya pun tersenyum saat melihat seungcheol akhirnya mengajak jeonghan berbicara. 'semoga mereka baik-baik saja' batinnya.

“han”

“iya”

“Mas pengen ngomong, kamu pulangnya sama Mas aja ya”

jeonghan terdiam untuk beberapa saat, tapi setelahnya ia pun hanya mengangguk

“iya” jawabnya kemudian

sungguh jawaban yang sangat singkat. seungcheol benar-benar mencoba bersabar sebisa mungkin.

***

“ibu.. Mas pamit yaa. makasih undangannya terus salam buat om tante dan lain-lain yaa.”

setelah bersalaman ke atas pelaminan dan berfoto bersama keluarga besar jeonghan, seungcheol memutuskan untuk pulang.

lebih tepatnya agar ia dapat menyelesaikan masalahnya dengan jeonghan secepat mungkin.

“iya nak terimakasih sudah datang ya. ibu senang sekali.”

“sama-sama ibu” senyum seungcheol. “tapi han juga pulangnya sama Mas gapapa ya bu? kita ada mau pergi sebentar.”

“iya gak papa. hati-hati yaa kalian” ujar ibunya, sesaat kemudian seungcheol menyalimi ibu dan bapak jeonghan diikuti oleh jeonghan.

setelahnya mereka berjalan ke parkiran dengan lagi-lagi tak saling berbicara, bahkan setelah keduanya sudah berada di mobil dan juga saat di perjalanan.

sampai tiba-tiba seungcheol membuka suara,

“kamu gak ada yang mau diomongin sama Mas?”

“bukannya kamu yang mau ngomong sama aku tadi?”

seungcheol diam.

“cepetan. mau ngomong apa?” tanya jeonghan sedikit ketus.

seungcheol menghela nafasnya

“Mas mau denger penjelasan kamu”

“buat apa? masih penting kah penjelasanku?”

“jangan mulai, jeonghan.”

“Mas please.. kalo kamu ngajak aku ngomong cuma mau berantem, lebih baik jangan sekarang Mas. aku ga ada tenaga.” ucapnya dengan santai namun sedikit sarkas, benar-benar menguji kesabaran seungcheol.

“justru kamu yang kaya ngajak berantem. keadaan kita lagi gak baik-baik aja karena kamu sendiri. tapi apa kamu punya inisiatif buat kita baikan?”

jeonghan hendak menjawab namun kembali dipotong

“yang Mas coba lakuin sekarang itu supaya kita baik-baik aja. dan kamu—” seungcheol menghela nafasnya “kamu bahkan ga ngehargain usahaku untuk buat kita baik-baik aja. baik-baik lagi.”

“sekarang aku ikut pulang sama kamu kan karena ikutin maunya kamu? kok jadi salah lagi sih?” ujar jeonghan sedikit menaikkan intonasi suaranya.

seungcheol diam. sebentar saja. ia harus menetralkan emosinya.

“kenapa diem Mas—

“apa arti hubungan kita bagi kamu jeonghan?

kenapa kamu dengan sangat gampang ngomong mau udahan?”

jeonghan tertawa sinis, “kamu capek kan Mas ngadepin aku? kasian di kamu gak sih kalo punya pacar kaya aku?”

seungcheol terdiam.

“kamu bahkan gak mau tau hal apa yang bikin aku gak bisa dateng waktu itu. aku mau jelasin kamunya gak mau denger, sekarang minta penjelasan. plin plan banget.

lebih tepatnya kamu yang nyiptain masalah yang seharusnya gak ada.”

seungcheol tak terima, “bukannya kamu yang janji mau nemuin aku dan jelasin semuanya tapi kamu juga yang gak dateng?”

“Mas—” jeonghan menoleh ke arah seungcheol, tak habis pikir. “kamu bisa ngerti gak sih? aku itu dokter yang sudah seharusnya mendahulukan pasienku daripada urusan yang gak penting. kamu harusnya ngerti.”

urusan yang gak penting

jeonghan menyadari ada yang salah dalam pengucapannya barusan, ia merasa bersalah sesaat

seungcheol tersenyum pilu “urusan yang gak penting ya”

tapi ego jeonghan lebih tinggi dan sangat mendominasi

“iya. pasienku lebih penting daripada kamu, Mas.”

sakit. hati seungcheol sakit. ia tahu kewajiban seorang dokter tanpa perlu diberitahu. tapi apa harus mengungkapkan fakta yang mematahkan seperti itu pada masalah mereka saat ini?

“apa aku bilang Mas? hubungan kita emang gak akan berhasil. ketakutanku dulu terbukti kan sekarang? aku kira kamu bisa ngertiin aku, pekerjaanku, dan bukan seorang pemarah seperti ini. speechless sih aku.” ujar jeonghan dengan sarkas.

seungcheol mengatur napasnya.

“usahaku bener-bener ga keliatan dimata kamu ya.”

“usaha apa sih yang kamu ungkit-ungkit dari tadi Mas? kamu ajak aku ngomong juga mau ngajak berantem lagi. capek Mas. kamu cuma buang-buang waktuku!”

seungcheol benar-benar menahan air matanya. sakit sekali mendengar kata demi kata yang jeonghan lontarkan. sakit sekali ketika usahanya ingin mengembalikan keadaan hubungan mereka seperti semula namun seperti ditolak mentah-mentah. bahkan oleh orang yang paling ia sayang melebihi apapun.

seungcheol menghela napas kasar “oke. kayanya kita emang masih butuh waktu buat masing-masing dulu—

“mau butuh waktu berapa lama sih Mas? kalo ujung-ujungnya juga kamu ga bisa nyelesein masalah kita.

sampe kapanpun kamu ga akan bisa nyelesein masalah kita dengan sifatmu yang maunya didenger tapi gakmau dengerin orang lain. yang kamu tau disini cuma aku yang salah. aku yang paling berdosa cuma karena ga nyanggupin undangan kamu.

kamu lupa kalo kamu juga pernah kaya aku? bahkan dengan alasan lupa lah, sakit lah. tapi diajak temen sanggup sanggup aja tuh?” jeonghan tau ucapannya salah tapi ia juga tak mau kalah.

seungcheol memejamkan matanya. kenapa hal ini kembali diungkit? bahkan jeonghan sendiri tau ia tak pernah berpura-pura. ia sakit dan jeonghan menyaksikannya sendiri. dan bukankah jeonghan sudah memahami alasannya waktu itu dan mempercayainya?

ternyata jeonghan memang belum menaruh rasa percaya padanya.

“kenapa kamu ngungkit itu lagi, jeonghan?” seungcheol benar-benar menahan emosinya

tanpa sadar ternyata mereka sudah tiba didepan rumah jeonghan.

“sekedar untuk kamu tau aja Mas kalo disini bukan aku aja yang pernah buat salah?”

seungcheol menggeleng tak percaya dengan apa yang jeonghan katakan barusan. ia pikir hubungan mereka baik-baik saja selama ini. ia tak pernah tau bahwa jeonghan belum benar-benar memaafkannya jauh didalam hatinya. bahkan perhatian jeonghan padanya saat merawatnya tempo hari pun mendadak terasa palsu. hati seungcheol benar-benar sakit. jantungnya berdegup tak karuan, emosinya dipermainkan.

“aku pikir kita baik-baik saja jeonghan. aku kira kamu udah memahami aku sepenuhnya, ternyata—

“iya. aku aja terus Mas. aku terus yang salah, yang gak ngertiin lah, gak hargain, gak mahamin, salah semua yang aku lakuin. capek. aku bener-bener capek. hubungan kita kok kayak gak ada titik temunya.”

“please jangan mulai han. mending sekarang kamu masuk tenangin pikiran. hubungi aku kalo kamu udah tenang—

“gak. kita selesaikan sekarang Mas!

aku rasa kita emang lebih baik jalan sendiri-sendiri.

aku mau kita putus.”

Deg

seungcheol lagi-lagi harus menahan efek dari satu kata yang bermakna perpisahan itu.

“gak semudah itu jeonghan!”

“gak Mas. aku capek. aku beneran gak sanggup sama kamu.”

kemudian jeonghan hendak meninggalkan seungcheol dan mengakhiri hubungan itu secara sepihak, namun tangannya ditahan seungcheol.

“han kamu gak bisa kayak gini!”

namun jeonghan menarik tangannya dan meninggalkan seungcheol, bersama dengan air mata seungcheol yang runtuh dari pertahanannya.

seungcheol mematung.

hatinya hancur berkeping-keping. usahanya mencoba menyelesaikan masalahnya dengan jeonghan tak disambut baik. bahkan satu persatu kalimat yang jeonghan lontarkan begitu menyakiti hatinya.

seungcheol masih tak bergeming. masih mencerna yang baru saja terjadi. masih mencoba mengingat kembali apakah hal yang baru saja terjadi nyata adanya? ia tidak pernah menyangka hubungan mereka benar-benar diakhiri dengan cara seperti ini, ia tidak menyangka hal itu terjadi padanya hari ini.

tepat saat jam menunjukkan pukul 12 malam tepat.

pada tanggal 8 agustus.

hari ulang tahunnya.

hari yang seharusnya paling membahagiakan. hari yang selalu dinanti setiap tahunnya. hari yang seharusnya menjadi pertama kalinya ia lalui bersama jeonghan, hari ulang tahun nya.

and tonight is his worst birthday ever

seungcheol pun memutuskan untuk pulang dengan membawa luka itu bersamanya.

luka yang tak tahu kapan sembuhnya.

luka yang mungkin akan kering dalam waktu yang tak sebentar.

dan ia begitu amat terluka di hari ini.

hari ulang tahunnya.

;

/krek/

Jeonghan membuka pintu rumahnya yang telah tertutup sempurna dengan perlahan, tak ingin membangunkan keluarganya yang pastinya telah terlelap di dalam.

Ia menghela nafasnya, mencoba menahan isak tangisnya agar tak terdengar oleh siapapun.

Seberapapun ia mencoba, ia tetap tak dapat membendung isaknya saat sekelebat percakapan antara dirinya dan Seungcheol kembali berputar dengan begitu jelas dalam ingatan.

Ia menggingit bibir bawahnya demi meredam isakannya hingga entah sejak kapan semericik rasa anyir mengalir di sana.

Hatinya lebih sakit dibandingkan rasa nyeri yang ia rasakan saat ini.

Ia memegang dadanya yang kian sesak, menyulitkannya untuk bernafas di kamarnya yang entah mengapa terasa begitu pengap nan sesak.

Sepersekian detik selanjutnya, suara pintu terdengar. Ia merapatkan selimut yang kini telah menutupi dirinya dengan sempurna. Ia menghembuskan nafasnya kasar.

“Sayang..” Ucap seseorang yang telah duduk di sampingnya saat ini.

Jeonghan terdiam, tak ingin berhadapan dengan siapapun saat ini.

“Ibu tau kalo kamu belum tidur, sayang..” Ucapnya lagi yang membuat persembunyian Jeonghan patah.

Ia kembali menghela nafasnya dari balik selimut yang kian membuatnya sesak. Ia berusaha menghapus sisa-sisa gelinang air mata yang masih hinggap di pelupuk air matanya sejak tadi dengan sisa tenaganya.

Air matanya kembali berlinang saat mendapati sosok orang yang telah melahirkannya, menatapnya dengan senyum teduh serta rentangan tangan lembutnya.

“Ibu..” Racaunya yang langsung memposisikan dirinya dalam dekapan hangat Ibu tercinta.

“Kamu kenapa, sayang?” Tanya Ibu mengusap lembut pucuk kepala anak sulungnya yang hanya menjawabnya dengan isakan.

“Hmm coba Ibu tebak, ada masalah sama Seungcheol ya?” Tanya Ibu kemudian yang membuat Jeonghan menengadahkan wajahnya.

“K-kok I-ibu t-tau?”

“Dari gerak-gerik kalian tadi, semua orang juga pasti paham, sayang.” Ucap Ibu dengan begitu lembut yang membuat anak sulungnya kembali terisak.

“Udah coba kalian bicarain?”

“U-udah.”

“Terus?”

“Selese.”

“Selese?”

“Putus.”

“Putus?” Tanya Ibu dengan nada kaget namun berusaha tenang, masih mencoba menenangkan dengan usapan hangatnya pada punggung sang sulung.

Jeonghan hanya dapat mengangguk mengiyakan pertanyaan sang Ibu.

“Hmm kalian yakin ama keputusan kalian?”

Jeonghan terdiam, sejujurnya.. ia juga bingung mengapa hubungannya bisa sampai pada tahap yang begitu menyiksa ini.

“Sayang.. dengerin Ibu deh.” Ucap Ibu mengusap lembut wajah sang anak lalu menggenggam kedua tangannya dengan begitu lembut.

Jeonghan hanya terdiam, menanti setiap untaian kata yang akan Ibunya lontarkan padanya.

“Ibu suka deh liat kalian berdua bareng.. Kalian cocok.. Seungcheol juga anak baik.. Ibu bisa liat gimana sayangnya dia ama kamu, sayang..”

“Dia juga sayang ama adek-adek kamu. Ibu yakin kalo dia pasti bisa jaga kamu. Percaya deh, Ibu udah anggep Seungcheol kayak anak Ibu sendiri. Ibu sayang ama anak-anak Ibu. Ibu gak mau liat anak-anak Ibu jadi sedih gini.” Ucap Ibu yang terdengar begitu menenangkan sembari menghapus sisa-sisa air mata anak sulungnya.

“Sekarang, Ibu tanya deh, air mata kamu ini buat apa? Kamu pasti nyesel kan udah putus ama Seungcheol?” Tanya Ibu yang membuat Jeonghan mengerucutkan bibirnya.

“Sapa ih yang nangis! aku kelilipan doang tadi.”

“Gak nangis tapi ini kamar kamu bisa banjir ya haha..”

“Ibu ih!!”

“Itu tandanya, hati kamu gak nerima apa yang fisik kamu lakuin, sayang.. Sekarang Ibu tanya deh, kamu masih sayang gak ama Seungcheol?”

Jeonghan terdiam. Ia masih sayang.. sangat amat sayang.

“Coba deh tanya hati kamu. Ibu yakin kalo kalian berdua sama-sama sayang. Kalian berdua sama-sama nyesel ama keputusan kalian ini.”

“Aku gak tau.. bu..”

“Kamu bukan gak tau, sayang.. kamu masih belum mau tau..” Timpal Ibu yang membuat Jeonghan berfikir sejenak.

“Liat Ibu ama bapak kan? Kamu pernah liat kita berantem gak?”

Jeonghan mengangguk sesaat.

“Dalam suatu hubungan itu, gak ada yang namanya jalan yang mulus aja, sayang.”

Jeonghan masih mendengarkan, tanpa niat untuk mengintrupsi setiap perkataan yang ibunya lontarkan.

“Di jalan, kamu bakal ketemu tukang bubur, nasi goreng..” Ucap Ibu membuat Jeonghan menarik kedua sudut bibirnya sesaat.

“Ibu ih...!!”

“Gitu dong senyum, anak Ibu makin ganteng kalo senyum gini.”

Jeonghan kembali mengerucutkan bibirnya.

“Gini deh dengerin Ibu dulu. Kerikil-kerikil bahkan batu besar pun pasti bisa kita temuin dalam idup. Dan buat ngelewatinnya, kita harus mindahinnya hati-hati, bukan sembarangan.”

“Sama halnya kayak masalah. Kalo diselesain ama emosi, itu sama kayak kita mindahin pecahan beling sembarangan yang akhirnya buat kita luka. Coba kita beresinnya pelan-pelan, nggak akan ada yang terluka, sayang.. bahkan, semua serpihannya bisa jadi gelas yang utuh lagi kalo kita lem lagi.”

Jeonghan termenung memikirkan untaian kalimat Ibunya yang berputar-putar di benaknya.

“Kamu paham kan maksud Ibu apa?”

Jeonghan mengangguk.

“Intinya, putus bukan suatu penyelesaian buat kalian. Kalian pasti sama-sama sakit kan sekarang?”

“Ibu yakin kalo kalian masih sama-sama sayang. Coba deh ikutin kata hati kamu. Baikan ya?”

Jeonghan terdiam sesaat lalu mengangguk singkat. Ibu benar, ia harus membicarakannya lagi dengan Sungcheol.

Sepersekian detik selanjutnya, ia membuka roomchatnya dengan Seungcheol, hendak mengiriminya pesan.

Namun, senyum getirnya perlahan luntur saat menyadari bahwa ia tak dapat mengirimi pesan pada orang yang saat ini telah berstatus sebagai mantan kekasihnya lagi.

He blocked his number.

Wonwoo POV

pernah ga kalian bingung soal perasaan kalian sendiri? lebih tepatnya kaya gue yang lagi bingung banget sekarang. barusan mingyu dengan mantapnya mengutarakan niat dia yang pengen serius sama gue. dan gue masih sangat speechless sama apa yang baru aja terjadi.

gue bingung, tapi gue suka saat ngeliat ibu seneng.

ibu emang gak pernah ngatur siapa pendamping gue dan dari mana ia berasal. ibu selalu mendukung apapun pilihan gue. dan rasanya kali ini aja gue pengen nyenengin ibu, tapi gue juga pengen memilih pasangan seperti bagaimana yang hati gue inginkan.

baru aja mingyu pamit ninggalin gue sendiri di taman ini. gue sih yang minta dia untuk balik duluan —yang sebenernya butuh waktu buat diri gue sendiri mencerna kejadian demi kejadian yang belakangan gue hadapi— dan gue masih pengen berjalan-jalan sendiri disini.

gue duduk cukup lama di salah satu bangku kayu ditaman ini. gue kaya deja vu. tiba-tiba keinget seseorang yang pernah gak sengaja ketemu disini dan langsung akrab sama miko. seseorang yang sempet ganggu pikiran gue, dan...

“DUARRR”

gue kaget setengah mampus saat ini, cepat-cepat gue menoleh dan disamping gue ada seseorang yang sedang terbahak-bahak karena melihat muka panik gue.

“soonyoung???”

ya, itu soonyoung yang ngagetin gue.

salah satu alasan yang buat hati gue bingung

“hahaha aduh.. lucu banget muka kamu Mas kalo lagi kaget gitu” ujarnya masih diselingi tawa.

“astaga soonyoung.. kalo jantung saya copot gimana?”

dia cekikikan, manis sekali..

“serem tau Mas kamu sendirian disini terus ngelamun gitu, awas kesambet loh”

gue cuma geleng-geleng liat kelakuannya dia.

“kamu sendiri ngapain disini?” tanya gue yang baru sadar kalo baru aja gue kepikiran dia dan bagaimana kami lagi-lagi bertemu disini, ditempat yang sama.

“aku juga cuma jalan-jalan doang Mas..

kamu sendiri ngapain? lagi galau yaaaa” ujarnya dengan nada ngeledek, seketika bikin gue tersadar sama apa yang sedang gue alami.

“Mas?”

dia membuyarkan lamunan gue, “eh iya soon?”

“Mas wonwoo kenapa?”

“hah? emang saya kenapa?”

“ya aku gaktau dong Mas hahaha” si dia lagi-lagi tertawa. “kamu keliatan kaya lagi banyak pikiran gitu” ujarnya kemudian.

gue menghela nafas pelan dan masih menatap lurus ke depan.

“Mas boleh loh cerita sama aku? soal mingyu ya?”

gue tersentak dan cepat-cepat menoleh ke arahnya. si dia yang melihat gelagat gue langsung terkekeh.

“bener dong soal mingyu?”

“kamu punya pacar soon?”

“hah?” si dia kaget.

“saya tanya kamu punya pacar?”

“ke-kenapa Mas?”

“gak papa. saya pengen tau saja. at least gak ada yang marah kalo kamu disini duduk berdua dengan saya.” ucap gue sambil menatap tepat manik coklatnya dalam-dalam.

mata kami berdua bertemu.

lalu si dia membuang pandangannya kesana-kemari. salah tingkah.

“M-Mas wonwoo be-belum jawab pe-pertanyaanku!” ujarnya mengalihkan topik. benar-benar salah tingkah. gue mati-matian menahan tawa.

“kamu pernah bingung sama perasaan mu sendiri soon?” tanya gue akhirnya.

“maksud kamu Mas?”

“saya bingung soon. ada orang yang begitu baik dan tulus pada saya bahkan ibu saya menyukainya. rasanya hangat sekali”

si dia tersenyum dan masih ngedengerin gue.

“tapi saat ini ada orang lain yang udah ambil alih hati dan pikiran saya.” ucap gue dan menatap si dia lagi yang sedari tadi natap gue, kami saling berpandangan cukup lama. dan sepertinya dia nangkap sinyal dari gue.

dia buru-buru ngalihin pandangannya lagi, dan gue hanya bisa senyum-senyum ngeliatnya.

cukup lama kami diam. tidak ada yang mencoba membuka obrolan. bahkan kalimat terakhir gue gak di respon sama si dia. gue yakin dia tau maksud perkataan gue.

“soonyoung?”

“eh? i..iya Mas?”

gue cuma senyum ngeliatin dia.

“ke-kenapa sih Mas?” ucapnya sedikit terbata. gugup.

“gak papa. saya suka”

“su-suka apa Mas?”

gue cuma terus senyumin dia dan menggantung kalimat gue. tiba-tiba gue jadi inget lagi sama penyebab gue jalan-jalan sendirian di taman ini.

dan kenapa gue ketemu lagi sama si dia disini?

apakah ini jawaban dari tuhan soal kebingungan gue?

“Mas?”

“Mas wonwoo?”

“eh iya soonyoung”

“uhm.. udah malam. ayo balik. nanti kamu masuk angin, Mas.”

kenapa hati gue berdebar gini sih? gue seneng dikasih perhatian bahkan perhatian sekecil itu.

“kamu juga bisa masuk angin, soonyoung.”

si dia cekikikan “aku mah gampang. aku kan dokter.”

“memangnya dokter gak bisa sakit?” tanya gue yang membuat si dia lagi-lagi tertawa.

“udah ah ayok. kamu pulang, aku juga pulang Mas”

“kalo saya gak pulang?”

“ya terserah sih, tidur aja disini” lalu si dia bangun dari duduknya mau ninggalin gue, tapi gue tahan lengannya.

“tunggu saya, soonyoung. kita baliknya bareng-bareng”

dan tangan gue yang tadinya memegang lengannya kini berpindah dan menggenggam tangannya, mengait jari-jari kami berdua. lalu gue narik dia untuk jalan disamping gue sambil menuju ke depan taman.

si dia sempat kaget tapi tidak juga menolak. entahlah. kami berjalan begitu saja dan gue membuang semua pikiran-pikiran diluar daripada tentang gue dan dia. gue akan mikirin itu lagi nanti. untuk sekarang biarin gue kaya gini, merasakan hangatnya telapak tangan si dia yang ada di genggaman gue.

Story

Jeonghan memeriksa arlojinya lekat dengan senyuman yang terus menghiasi wajah lelahnya sejak tadi.

1 jam lagi.. Ia akan bertemu dengan keluarga Seungcheol.

Akhir-akhir ini, pekerjaannya begitu menyita perhatiannya. Ia lelah. Ia lelah karena semakin hati, pekerjaannya seakan terus mengejarnya tanpa henti.

Ajaibnya, pertemuan 1 jam lagi membuat kelelahannya menipis seketika.

Sejak kemarin, ia begitu senang saat mas Seungcheol nya memberitahunya bahwa bundanya ingin menemuinya. Jujur saja, sejak kemarin, ia telah sibuk menyiapkan setelan yang akan ia pakai ke apartement mas nya nanti. Ia ingin terlihat sebagai calon menantu yang baik di depan calon mertuanya?

Yap, first impression. Ia harus terlihat sangat sangat sangat baik, bukan?

Ia kembali tersenyum saat jam kerjanya akhirnya selesai. Ia segera merapikan barangnya dengan senyumnya yang terus mengembang.

Dengan riang, ia menyapa setiap pasien, perawat, serta para dokter yang ia temui di setiap langkahnya.

Ia tersenyum lega saat akhirnya dapat memasuki mobilnya kembali. Ia ingin segera bersiap-siap untuk pergi ke apartement kekasihnya dan menemui keluarganya.

Ah..memikirkannya saja membuatnya begitu senang walaupun rasa gugup kian menyelimutinya sejak tadi.

“Keep calm, han.. Lo cuma perlu jadi diri lo apa adanya di depan mereka.” Gumamnya menatap pantulan wajahnya yang tersenyum, mengumpulkan kepercayaan dirinya di depan cermin di dalam mobilnya.

Namun sepertinya, harapannya sirna saat dering telefon menghentikan tangannya guna menghidupkan mobilnya.

“Iya, dok?”

“Apa? Baik, kebetulan saya masih di parkiran.”

“Saya akan segera ke sana.”

Tanpa memikirkan hal lain, Jeonghan segera keluar dari mobilnya, ia berlari, menuntun langkahnya kembali memasuki rumah sakit yang entah sejak kapan terlihat begitu penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang. Tanpa memedulikan semua barangnya yang tertinggal di dalam mobilnya pula.

Sepersekian detik sebelumnya, dokter Irwan menelponnya bahwa ada suatu kecelakaan yang mengharuskan dokter di bidangnya harus bekerja ekstra. Terlebih, ada beberapa dokter yang mengambil cuti. Ini juga menjadi alasan kesibukannya akhir-akhir ini.

Demi tugas yang mulia.. Demi sumpahnya yang harus menyelamatkan nyawa jika masih bisa.. Hanya itulah yang terdapat dalam benaknya saat ini.

Ia menghentikan langkahnya saat melihat kepanikan orang-orang berlalu lalang yang terdapat di sana.

Tubuhnya sedikit gemetar saat melihat pasien-pasien korban kecelakaan yang baru saja datang dengan noda merah segar yang membalurinya.

Tak ada tawa..

Tak ada senyum..

Yang tersisa hanyalah tangisan-tangisan pilu yang mulai terdengar memenuhi lorong demi lorong rumah sakit..

Kecelakaan beruntun..

Bukan satu orang saja yang harus diselamatkan..

Bukan satu orang saja yang harus diberi pertolongan..

Malam ini akan menjadi malam yang begitu panjang..


Benar saja, ia harus menghabiskan malamnya guna menyelamatkan nyawa. Ia bahkan rela menambah shiftnya hingga matahari mulai memunculkan sinarnya.

Tubuhnya mulai gemetar akibat kelelahan yang ditahannya sejak kemarin pagi.

“Han, pulang dulu deh lo.. Ini badan lo keliatan banget capeknya.” Ujar Soonyoung saat melihat sahabatnya yang terduduk lemas di depan ruang IGD.

Jeonghan mengangguk. Soonyoung benar, ia juga butuh istirahat.

“He'em, bentar lagi gue cabut.” Jawabnya dengan nada yang begitu lesu.

Sungguh, ia mungkin akan sepenuhnya tumbang jika masih tetap kekeuh berada disana.

Ia melangkah gontai dengan senyum yang masih ia lukiskan menuju parkiran. Berusaha terlihat baik-baik saja pada setiap orang yang dilewatinya.

Ia menghela nafasnya saat telah duduk di belakang kemudi mobilnya. Ia bersender sesaat, memejamkan matanya mencari ketenangan.

Sepersekian detik selanjutnya..

Netranya beralih pada benda pipih yang ternyata tertinggal di sana sejak kemarin, ia meraihnya dan matanya pun sontak terbelalak tatkala melihat rentetan pesan serta panggilan tak terjawab.

Jantungnya berdegup kencang saat menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan.

Ia melupakan janji yang telah ia buat.

Lagi-lagi, ia mengecewakan orang yang ia sayang.

Heart

Mingyu dan Wonwoo.

Entah sudah berapa kali keduanya saling bertukar pesan.

Entah sudah berapa kali pula keduanya saling menanyakan kabar bahkan hobi satu sama lain.

Mungkin.. keduanya telah sama-sama nyaman?

Entahlah..

Ibu Wonwoo juga sering mengirimkan makanan untuk Mingyu, seakan telah menganggapnya bagian dari keluarga kecilnya. Bahkan, sudah beberapa kali juga sang Ibu mengundang Mingyu untuk makan bersama mereka.

Seperti halnya malam ini, Mingyu mengacak rambutnya sesaat guna merapikan penampilannya. Ia menatap cermin lekat, kemejanya telah terpasang rapi dengan jam tangan mahal yang sudah melingkar di pergelangan tangannya.

“Perfect.” Gumamnya seraya pergi meninggalkan apartementnya menuju kediaman Wonwoo, menghadiri undangan sang Ibu.


Sesampainya di sana, Ibu selalu menyambutnya dengan begitu ramah. Ia selalu senang berada di sana, ia nyaman.. sangat nyaman. Suasana rumah ini begitu hangat baginya.

“Makasih banyak ya bu, Ibu udah sering ngundang aku kesini. Seperti biasa, makanan Ibu emang juara.” Ucap Mingyu yang melahap makanan di hadapannya dengan begitu semangat, tak lupa dengan senyuman yang selalu menghiasi bibirnya.

“Ibu tuh malah seneng kamu kesini, rumah ini jadi kerasa lebih idup, gyu.” Timpal Ibu dengan perkataannya yang begitu tulus, begitu manis untuk didengar.

Mingyu membalasnya dengan anggukan serta senyuman, masih mengunyah makanannya dengan begitu lahap.

Hingga sepersekian detik selanjutnya, ia merasakan degup jantungnya yang begitu cepat. Ia meletakkan sendoknya yang membuat Ibu dan Wonwoo mengalihkan fokus mereka padanya.

“Kok udahan, gyu?” Tanya Ibu dengan nada lembutnya.

”'Hehehe makasih banyak ya bu. I-I-Ibu.. aku boleh nanya sesuatu gak?” Ucap Igyu dengan sedikit terbata, membuat keduanya berhenti sepenuhnya dari aktivitas awalnya.

“Apa, nak?”

“Hmm bu.. kalo misalnya aku mau ngajak mas Wonwoo ke tahap yg lebih serius, boleh?” Tanya Mingyu dengan tatapannya yang penuh akan kesungguhan.

Ibu menghela nafasnya sesaat sementara Wonwoo telah membelalakkan matanya pada Mingyu sejak tadi, seakan tak percaya akan apa yang baru saja ia dengar.

“Mingyu.. Ibu gak bisa jawab hal itu nak.. ibu ngikut apa kata wonwoo aja, kalo wonwoo mau ya gapapa, ibu pasti setuju ama apapun pilihan anak Ibu. Tapi Ibu malah seneng kalo misalnya Wonwoo ngeiyain pertanyaan kamu karena ibu yakin kalo kamu itu anak baik gyu, kamu bisa jaga Wonwoo.” Ucap Ibu begitu tulus, menenangkan siapapun yang mendengar kalimat itu.

Wonwoo hanya terdiam, seakan tak ingin terlibat dalam percakapan kedua sosok di hadapannya hingga makan malam mereka usai.


Setelah berpamitan pada Ibu di dalam, Wonwoo mengantar Mingyu ke depan. Fikirannya berkecamuk. Terlalu banyak hal yang ia fikirkan saat ini.

“Mas?” Tanya Mingyu menyadarkan lamunannya.

“Eh iya?”

“Aku pulang dulu ya, makasih banyak buat undangan makan malemnya! hehehe.” Ucap Mingyu menampilkan deretan gigi putihnya.

“Hmm gyu.. boleh bicara bentar gak?”

“Eh?”

Keduanya pun melangkah menuju taman yang berada tak jauh dari rumah Wonwoo berada. Beberapa saat, hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. Entah mengapa, seakan tak ada yang berniat untuk membuka suara.

“Hmm Gyu?” Ucap Wonwoo yang berhasil memecahkan keheningan diantara keduanya.

“I-iya mas?”

“Kamu yakin ama yang kamu bilang ke Ibu tadi?” Tanya Wonwoo menatap Mingyu lekat.

Sepersekian detik selanjutnya, Mingyu mengusap lembut tangan Wonwoo yang entah sejak kapan telah berada dalam genggamannya.

“Aku yakin mas.. aku serius..” Ucap Mingyu yang mulai menatap kedua manik Wonwoo dengan tatapan teduhnya.

“Tapi mas gak perlu jawab sekarang kok, aku yakin kalo hal kayak gini butuh banyak pertimbangan.. aku siap buat nunggu mas seberapa lama apapun itu.” Lanjut Mingyu yang terdengar begitu tulus di pendengaran.

Wonwoo terdiam. Ia larut pada setiap untaian kata yang Mingyu ucapkan. Namun, ia masih bingung akan kata apa yang akan ia lontarkan.

“Gak usah dijadiin beban fikiran ya mas.. Mas ikutin hati mas aja.. Aku gak akan maksa kamu kok mas hehehe.” Ucap Mingyu menghangatkan suasana diantara mereka.

“Makasih ya Gyu.” Pada akhirnya, hanya kata itu yang Wonwoo lontarkan pada Mingyu walaupun ia juga tak tahu apa makna dari balik ucapannya.

Entah untuk berterima kasih karena Mingyu sudah baik padanya, untuk berterima kasih karena telah mencintainya, atau untuk kemungkinan lainnya..

Entahlah..

“Mas.. masuk masuk” ini jihoon yang membukakan pintu untuk seungcheol.

sebelumnya seungcheol menghubunginya dan menanyakan keberadaan jihoon —yang saat ini sedang bekerja di studionya— dan langsung datang menghampiri jihoon.

“Mas kusut banget muka lo, kenapa?” “oh iya ini anak-anak juga pada mau kemari, gak papa ya?” tanya jihoon meminta ijin, karena yang dilihatnya, seungcheol benar-benar sedang dalam suasana hati yang berantakan saat ini.

“lo punya bir ga?”

“ada Mas dikulkas. lo mau mabuk Mas? please lebih baik cerita ke kita aja daripada mabuk. lo baru sembuh” ujar jihoon sedikit khawatir.

“gakpapa ji, gue minta ya. ntar gue ganti bir di kulkas lo.”

“yaa oke sih gue ga nolak.” jihoon mencoba mencairkan suasana yang bahkan tak digubris oleh seungcheol.

seungcheol mendudukkan dirinya disalah satu sofa distudio tempat jihoon bekerja, lalu membuka kulkas kecil yang terletak persis disamping sofa tempat ia duduk. hari sudah malam dan hampir larut. jadi sekarang hanya ada mereka berdua disana. tak lama setelahnya juga seokmin dan minghao datang membawa beberapa makanan pesanan jihoon dan milik mereka sendiri. mereka memang lebih sering menghabiskan waktu di studio jihoon kalau sedang gabut. sedangkan mingyu sudah ijin akan telat sampai kesana.

seokmin sedikit terkejut melihat seungcheol yang sudah mabuk dengan beberapa kaleng kosong didepannya.

“koh temen lu galau tuh, udah habis 4 kaleng” bisik jihoon pada minghao yang tak lain adalah sepupunya.

“cheol..” seokmin menepuk pundak seungcheol sedikit kuat. “kenapa lo? berantem lagi sama pacar lo?”

yang ditanya hanya mengangguk lemah dan berulang-ulang. khas orang mabuk.

“gue bingung.” ungkap seungcheol lalu tertawa kecil, tak lama kemudian ia menangis.

“lah serem banget” ujar seokmin “jangan-jangan kesurupan nih si cheol? wey keluar ga lo?” lanjutnya dengan memegangi kepala seungcheol yang dihadiahi pukulan oleh minghao pada kepalanya.

“goblok!” ujar minghao gemas

jihoon hanya menggelengkan kepalanya lalu mendudukkan dirinya disamping seungcheol.

“Mas lo bingung kenapa?”

seungcheol yang tertunduk kemudian mengangkat kepalanya, memandang teman-temannya dengan mata menyipit, lalu ia tertawa pelan “gue berantem... sama jeonghan hahahaha hiks” ucapnya dengan perubahan emosi yang berganti dengan mudahnya sepersekian detik. ia sudah benar-benar mabuk saat ini.

“kali ini apa masalahnya?” tanya minghao

“kemaren bunda... kemari teterus gue sen..neng bangetttt karena mau ngenalin jeonghan ke bundaa” seungcheol menarik ingusnya. “tapi jeonghan bahkan ga dateng, padahal bunda udah nungguin.”

seungcheol pun menceritakan semua yang terjadi mulai dari tadi malam hingga pertengkarannya barusan dengan jeonghan via imess tanpa satupun yang tertinggal. walaupun sedikit lelah mendengarkan ucapan orang mabuk yang tidak jarang membuat teman-temannya bingung dan melewatkan satu kata yang tak terdengar jelas. tapi mereka mengerti keseluruhan ceritanya.

“gue sayang banget sama dia ji... seok... hao” ujar seungcheol sambil menatap satu persatu sahabatnya. “tapi hahahaha—” ia tertawa dengan begitu pilu “gampang bbbanget ddia ngomong putus setelah semua yang udah kita lewatin” lanjutnya dan ada nada kesal dan kecewa dalam setiap ungkapannya. emosi masih membalut dirinya.

jihoon hanya menepuk pundak sahabatnya. “sabar Mas. kalian lagi sama-sama emosi. udah bener kok lo minta waktu buat sendiri dulu, kalian harus nenangin pikiran kalian. dan bicarain ini kalo udah tenang”

“bener tuh kata bebeb uji” seokmin mengangguk mantap tanda setuju yang dihadiahi tatapan sinis jihoon.

“tapi lo harus dengerin penjelasan jeonghan juga cheol” tambah minghao. “pasti dia punya alesan yang bikin dia gabisa milih”

seungcheol diam setelahnya. ia semakin bingung.

tapi bayangan soal bundanya yang menunggu untuk bertemu kekasihnya dengan antusias dan memasak banyak, juga dirinya yang diabaikan jeonghan malam ini tanpa kabar membuat seungcheol tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya.

apa memberi kabar pun tidak sempat?

ia akan mengerti jika jeonghan tidak bisa, tidak harus mengiyakan semua ajakannya dengan gampang namun mengingkari semuanya juga dengan segampang itu.

“entahlah. gue capek. dipikir-pikir hubungan gue sama dia belakangan kaya gaada titik temunya.” ujar seungcheol dengan raut wajah begitu lelah.

“pokoknya omongin semuanya baik-baik cheol. keputusan yang diambil pas lagi emosi pasti berujung bikin lo nyesel. selesaikan pake kepala dingin.” ujar seokmin kemudian yang mendapat tatapan tak percaya dari minghao dan jihoon. 'bisa bijak juga si kampret' batin keduanya.

seungcheol hanya mendengus dan kembali meneguk kaleng bir kelimanya.

temannya hanya bisa membiarkan. mereka hanya mencoba mengerti seungcheol untuk malam ini. mungkin dengan begini seungcheol akan sedikit lebih baik —walaupun tidak semudah itu— mereka tidak akan melarang dan membiarkan itu semua. hanya untuk malam ini.

“bunda!” seungcheol kegirangan saat ayah dan bundanya sampai di apartemennya.

yang dipanggil bunda langsung saja memeluk anak sulungnya itu, “Mas yaampun bunda kangen sekali nak” setelahnya seungcheol mengambil tangan bundanya dan mencium punggung tangan tersebut.

“Mas juga kangen banget bunda. maaf ya malah jadi bunda yang kesini nyamperin kita”

mereka berbincang sambil masuk dengan seungcheol yang membawakan tas jinjing bawaan ayah-bundanya. tak lupa bundanya membawa beberapa oleh-oleh dari jogja.

“tidak apa apa nak. bunda juga perlu refreshing dengan melihat anak-anak bunda. lagian dirumah bosen, yang dilihat ayahmu terus” lalu mereka tertawa bersama

“bunda saja yang dicari. ayah pulang saja kalau begitu” ujar sang ayah yang terlupakan kehadirannya.

“ayah...” seungcheol pun bergantian mencium punggung tangan sang ayah. “jangan merajuk ayah” goda seungcheol.

sang ayah lalu menepuk keras pundak seungcheol —yang langsung mengaduh kesakitan— dan langsung memeluknya dengan sedikit tepukan pada punggung anak sulungnya, “bagaimana keadaan mu nak?”

“udah mendingan, yah.” lalu mereka tertawa bersama.

“lagian bakal cepet nih Mas sembuhnya kalo ada bunda. bund, masakin sayur lodeh dong, Mas pengen. kangen banget sama masakan bunda” manja seungcheol pada bundanya.

memang hanya pada bundanya lah ia akan menjadi semanja ini, sisi yang tidak diketahui orang lain, dan sekarang ada jeonghan yang mengetahui semua fakta itu.

“kamu udah tua begini manjanya masih kaya anak bayi, sama pacarmu juga begitu Mas?”

“hehehe” cengir seungcheol yang dihadiahi pukulan pelan pada bahunya.

kemudian ayah dan bunda mengedarkan pandangan ke seluruh sisi apartemen, memeriksa penuh selidik keadaan apartemen dan ya, apartemen mereka sudah rapi. tentu saja kedua kakak-beradik itu akan merapikan apartemen serapi-rapinya karena nyonya besar akan berkunjung.

tiba-tiba “bundaaaa” teriak mingyu dari pintu utama.

“adek... yaampun si bongsor bunda” ya, ini mingyu baru pulang kerja.

“adek-kakak sama saja. yang dicari bunda. kalo butuh duit, baru carinya ayah.” ucap ayah yang kembali merajuk. kini sang ayah sudah mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah.

“aduh si bapak kesayanganku, bisaan banget ngambek begitu” goda mingyu yang dihadiahi jeweran pada telinganya.

“adedededeeeeuu sakit ayaaaah”

“sudah sebesar ini masih suka gangguin orang tua kamu”

bunda hanya geleng-geleng melihat tingkah ayah dan anak bungsunya itu

bunda kemudian berlalu menuju ke dapur dan membuka kulkas, memeriksa apakah cukup bahan untuknya memasak, mengingat seungcheol ingin memakan masakannya dan ia akan memasak sedikit lebih banyak karena malam ini ia akan bertemu calon mantu yang diidamkan selama ini.

***

“Mas.. kamu yakin pacarmu bisa dateng?”

“bisa bund, tadi dia bilangnya sama Mas bisa” seungcheol terlihat sedikit gusar, ia hanya membuka-tutup kunci ponselnya, menunggu kabar dari kekasihnya.

“mungkin rumah sakit lagi gak bisa ditinggal Mas” sahut sang ayah.

“enggak yah. biasanya kalo kaya gitu pasti dia ngabarin Mas kok.

gyu tadi kami ketemu jeonghan gak di rumah sakit?”

“ketemu sih Mas tapi pas makan siang. abis itu sibuk masing-masing deh. tapi tadi pas aku pulang ruangannya udah kosong deh” ujar mingyu kemudian.

“duh kemana ya dia.”

“tidak apa apa nak, kita tunggu saja ya.” ujar sang bunda

“iya. tunggu sebentar ya bund, yah.”

“iya nak.”

***

seungcheol menelfon jeonghan berulang kali juga mengirimi spam chat namun tanpa balasan, ia bahkan menghubungi ichan kwan namun mereka tidak ada yang tahu jeonghan dimana.

kemudian seungcheol juga menghubungi soonyoung yang mendapat jawaban “tadi aku liat sih Mas dia dirumah sakit pas aku pulang. tapi aku ga nyamperin karena buru-buru soalnya udah telat, ditungguin orang”

mendapat jawaban seperti itu seungcheol jadi berpikir apakah jeonghan lupa pada janjinya? apakah tidak bisa memberi kabar lebih awal jika memang tidak akan menyanggupi undangan makan malamnya?

akhirnya seungcheol mengajak ayah-bunda dan mingyu untuk langsung makan saja dan berasumsi bahwa jeonghan memang tidak akan datang. apalagi sekarang sudah hampir jam 10 malam, ia tidak akan mengorbankan waktu orang tuanya untuk menunggu dengan hasil yang nihil.

“Mas, kamu jangan marah sama pacarmu ya. ditanyain baik-baik aja.” ucap sang bunda setelah mereka selesai makan malam dan masih duduk berbincang ber empat. “terus kalo lagi ada masalah, diomongin baik-baik. dari hati ke hati. bunda tau banget watak anak-anaknya bunda, bunda juga gak mungkin ingetin kalian berdua tiap saat. Mas sudah dewasa. adek juga.”

mingyu mengangguk mantap “siap bunda sayang.”

sedangkan seungcheol hanya tersenyum kecut menanggapi sang bunda. beliau bahkan tidak marah. padahal sudah jauh datang dari luar kota dan sangat menantikan hal ini sejak lama.

seungcheol sedikit kecewa, karena ayah-bunda hanya berkunjung satu hari, bahkan besok akan flight pagi-pagi sekali karena ada acara di kampung halaman. dan acara mengenalkan calon mantu yang diidamkan bundanya pun gagal total.