;
/krek/
Jeonghan membuka pintu rumahnya yang telah tertutup sempurna dengan perlahan, tak ingin membangunkan keluarganya yang pastinya telah terlelap di dalam.
Ia menghela nafasnya, mencoba menahan isak tangisnya agar tak terdengar oleh siapapun.
Seberapapun ia mencoba, ia tetap tak dapat membendung isaknya saat sekelebat percakapan antara dirinya dan Seungcheol kembali berputar dengan begitu jelas dalam ingatan.
Ia menggingit bibir bawahnya demi meredam isakannya hingga entah sejak kapan semericik rasa anyir mengalir di sana.
Hatinya lebih sakit dibandingkan rasa nyeri yang ia rasakan saat ini.
Ia memegang dadanya yang kian sesak, menyulitkannya untuk bernafas di kamarnya yang entah mengapa terasa begitu pengap nan sesak.
Sepersekian detik selanjutnya, suara pintu terdengar. Ia merapatkan selimut yang kini telah menutupi dirinya dengan sempurna. Ia menghembuskan nafasnya kasar.
“Sayang..” Ucap seseorang yang telah duduk di sampingnya saat ini.
Jeonghan terdiam, tak ingin berhadapan dengan siapapun saat ini.
“Ibu tau kalo kamu belum tidur, sayang..” Ucapnya lagi yang membuat persembunyian Jeonghan patah.
Ia kembali menghela nafasnya dari balik selimut yang kian membuatnya sesak. Ia berusaha menghapus sisa-sisa gelinang air mata yang masih hinggap di pelupuk air matanya sejak tadi dengan sisa tenaganya.
Air matanya kembali berlinang saat mendapati sosok orang yang telah melahirkannya, menatapnya dengan senyum teduh serta rentangan tangan lembutnya.
“Ibu..” Racaunya yang langsung memposisikan dirinya dalam dekapan hangat Ibu tercinta.
“Kamu kenapa, sayang?” Tanya Ibu mengusap lembut pucuk kepala anak sulungnya yang hanya menjawabnya dengan isakan.
“Hmm coba Ibu tebak, ada masalah sama Seungcheol ya?” Tanya Ibu kemudian yang membuat Jeonghan menengadahkan wajahnya.
“K-kok I-ibu t-tau?”
“Dari gerak-gerik kalian tadi, semua orang juga pasti paham, sayang.” Ucap Ibu dengan begitu lembut yang membuat anak sulungnya kembali terisak.
“Udah coba kalian bicarain?”
“U-udah.”
“Terus?”
“Selese.”
“Selese?”
“Putus.”
“Putus?” Tanya Ibu dengan nada kaget namun berusaha tenang, masih mencoba menenangkan dengan usapan hangatnya pada punggung sang sulung.
Jeonghan hanya dapat mengangguk mengiyakan pertanyaan sang Ibu.
“Hmm kalian yakin ama keputusan kalian?”
Jeonghan terdiam, sejujurnya.. ia juga bingung mengapa hubungannya bisa sampai pada tahap yang begitu menyiksa ini.
“Sayang.. dengerin Ibu deh.” Ucap Ibu mengusap lembut wajah sang anak lalu menggenggam kedua tangannya dengan begitu lembut.
Jeonghan hanya terdiam, menanti setiap untaian kata yang akan Ibunya lontarkan padanya.
“Ibu suka deh liat kalian berdua bareng.. Kalian cocok.. Seungcheol juga anak baik.. Ibu bisa liat gimana sayangnya dia ama kamu, sayang..”
“Dia juga sayang ama adek-adek kamu. Ibu yakin kalo dia pasti bisa jaga kamu. Percaya deh, Ibu udah anggep Seungcheol kayak anak Ibu sendiri. Ibu sayang ama anak-anak Ibu. Ibu gak mau liat anak-anak Ibu jadi sedih gini.” Ucap Ibu yang terdengar begitu menenangkan sembari menghapus sisa-sisa air mata anak sulungnya.
“Sekarang, Ibu tanya deh, air mata kamu ini buat apa? Kamu pasti nyesel kan udah putus ama Seungcheol?” Tanya Ibu yang membuat Jeonghan mengerucutkan bibirnya.
“Sapa ih yang nangis! aku kelilipan doang tadi.”
“Gak nangis tapi ini kamar kamu bisa banjir ya haha..”
“Ibu ih!!”
“Itu tandanya, hati kamu gak nerima apa yang fisik kamu lakuin, sayang.. Sekarang Ibu tanya deh, kamu masih sayang gak ama Seungcheol?”
Jeonghan terdiam. Ia masih sayang.. sangat amat sayang.
“Coba deh tanya hati kamu. Ibu yakin kalo kalian berdua sama-sama sayang. Kalian berdua sama-sama nyesel ama keputusan kalian ini.”
“Aku gak tau.. bu..”
“Kamu bukan gak tau, sayang.. kamu masih belum mau tau..” Timpal Ibu yang membuat Jeonghan berfikir sejenak.
“Liat Ibu ama bapak kan? Kamu pernah liat kita berantem gak?”
Jeonghan mengangguk sesaat.
“Dalam suatu hubungan itu, gak ada yang namanya jalan yang mulus aja, sayang.”
Jeonghan masih mendengarkan, tanpa niat untuk mengintrupsi setiap perkataan yang ibunya lontarkan.
“Di jalan, kamu bakal ketemu tukang bubur, nasi goreng..” Ucap Ibu membuat Jeonghan menarik kedua sudut bibirnya sesaat.
“Ibu ih...!!”
“Gitu dong senyum, anak Ibu makin ganteng kalo senyum gini.”
Jeonghan kembali mengerucutkan bibirnya.
“Gini deh dengerin Ibu dulu. Kerikil-kerikil bahkan batu besar pun pasti bisa kita temuin dalam idup. Dan buat ngelewatinnya, kita harus mindahinnya hati-hati, bukan sembarangan.”
“Sama halnya kayak masalah. Kalo diselesain ama emosi, itu sama kayak kita mindahin pecahan beling sembarangan yang akhirnya buat kita luka. Coba kita beresinnya pelan-pelan, nggak akan ada yang terluka, sayang.. bahkan, semua serpihannya bisa jadi gelas yang utuh lagi kalo kita lem lagi.”
Jeonghan termenung memikirkan untaian kalimat Ibunya yang berputar-putar di benaknya.
“Kamu paham kan maksud Ibu apa?”
Jeonghan mengangguk.
“Intinya, putus bukan suatu penyelesaian buat kalian. Kalian pasti sama-sama sakit kan sekarang?”
“Ibu yakin kalo kalian masih sama-sama sayang. Coba deh ikutin kata hati kamu. Baikan ya?”
Jeonghan terdiam sesaat lalu mengangguk singkat. Ibu benar, ia harus membicarakannya lagi dengan Sungcheol.
Sepersekian detik selanjutnya, ia membuka roomchatnya dengan Seungcheol, hendak mengiriminya pesan.
Namun, senyum getirnya perlahan luntur saat menyadari bahwa ia tak dapat mengirimi pesan pada orang yang saat ini telah berstatus sebagai mantan kekasihnya lagi.
He blocked his number.