hari sudah semakin larut dan jeonghan masih disini, diruangannya, terduduk lemas karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. lebih tepatnya menyibukkan diri agar lupa dengan seseorang yang masih saja menghantui pikirannya.

ia bingung pada dirinya sendiri. untuk sejenak ia merasa ia tidak melakukan kesalahan, tetapi hatinya terus merasa bersalah. ia tahu egonya sangat besar tapi ia pun tak melakukan apa-apa. ia pikir seseorang itu tidak akan mengiyakan ajakannya untuk mengakhiri hubungan mereka dengan gampang. namun lihatlah saat ini, kenyataannya adalah hubungan mereka benar-benar kandas. begitu saja.

dan disinilah jeonghan, terduduk kian lemas dengan segala pikiran yang berkecamuk. selama bekerja, ia akan berlaku profesional. mengesampingkan segala rasa sakit dan sedihnya untuk tetap fokus pada pekerjaannya. namun pada akhirnya tubuhnya juga akan lelah, terutama hatinya. setiap pekerjaannya selesai, ia akan mulai kembali pada pikiran-pikirannya yang berkecamuk itu, dan kembali pada dirinya yang murung.

hingga tanpa terasa air mata nya mulai menggenang di pelupuk matanya. ia teringat orang itu. seseorang yang belakangan sangat ia rindukan terlepas dari semua rasa kecewanya pada keputusan orang itu.

'kenapa sih kamu segampang itu ngiyain ajakan bodohku?'

'kenapa kamu ga nyariin aku abis itu?'

'kenapa kamu ga ada kabarnya sama sekali?'

dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lainnya.

jeonghan menutup mulutnya berusaha meredam suaranya. ia menangis. tanpa suara. napasnya tercekat. hatinya sakit. ia merindukan orang itu, Choi Seungcheol.

***

mingyu mematikan lampu ruangannya, kemudian keluar dari sana hendak pulang karena sudah waktunya. ia pun menutup pintu ruangannya dan tak lupa menguncinya.

hari ini sangat melelahkan. ia harus lembur karena operasi dadakan yang baru saja ia kerjakan.

mingyu menyusuri lorong rumah sakit itu, sudah sangat sepi dan sedikit gelap disana. bulu kuduknya berdiri. ia —yang notabene nya penakut— paling benci rumah sakit saat larut seperti ini tapi ia terus saja berjalan dan berusaha mengabaikan rasa takutnya. namun ia mengernyit heran saat dari kejauhan ia melihat pantulan cahaya yang berasal dari ruangan jeonghan. bukankah jeonghan sudah pulang?

ia berjalan mendekat hingga sampai didepan pintu itu. ia pun membukanya pelan dan benar saja, jeonghan masih ada disana. duduk di sofa maroon yang ada diruangannya dengan sedikit tertunduk dan bahu yang sedikit bergetar. mingyu tahu, jeonghan sedang menangis. mingyu juga tahu, jeonghan sedang tak baik-baik saja.

“han?”

jeonghan tersentak kaget dan buru-buru menghapus air matanya.

“gyu? lo kok masih disini?”

mingyu tak menjawabnya dan malah langsung mendudukkan dirinya disamping jeonghan.

“kenapa nangis sendirian?”

pertanyaan mingyu sontak membuat mata jeonghan kembali berkaca-kaca. namun ia menahannya dan mengukir senyum -terpaksa- nya.

“gue gak nangis kok?”

“lo kira gue percaya?”

jeonghan terdiam.

“lo tau, lo bisa cerita apapun itu ke gue han.

jangan sedih sendirian. gue gak suka.”

mendapat perhatian seperti itu membuat jeonghan benar-benar tak dapat menahan air matanya untuk tidak jatuh kembali. air matanya kini benar-benar mengalir deras. melihat itu, mingyu menarik jeonghan kedalam dekapannya.

hiks hiks gyuuu... gue harus apa sekarang? hati gue sakiiiit banget hiks” jeonghan menangis sejadi-jadinya dalam dekapan mingyu.

mingyu hanya mengusap punggung jeonghan, menenangkannya.

“nangis han. lo boleh nangis semau lo. dipelukan gue.

tapi janji abis ini lo gak boleh sedih lagi.”

jeonghan masih saja sesegukan dipelukan mingyu. ia benar-benar melepas semua kesedihannya dipelukan seseorang.

“kalo lo ngerasa capek dan mau nangis kaya gini lagi, panggil gue. ada gue. cukup sama gue lo bebas mau nangis semau lo dan gue gak akan larang lo untuk nangis sebanyak yang lo mau.”

jeonghan mengangguk dalam dekapan mingyu. untuk saat ini yang ia butuhkan memang sebuah pelukan. dan pelukan mingyu begitu hangat. jeonghan juga dapat mencium wangi tubuh mingyu yang mampu menenangkannya. mirip dengan wangi tubuh seseorang yang sangat ia rindukan.

dan ia benar-benar bisa melepaskan segalanya, bersama mingyu.

setengah jam berlalu dan mereka masih pada posisi ini. jeonghan tak lagi menangis tapi masih kesulitan mengatur napasnya. ia masih sesegukan. mingyu membiarkannya. menunggu jeonghan sedikit tenang.

hingga beberapa menit kemudian, suasana benar-benar hening. kemudian jeonghan melepaskan dirinya dari mingyu.

“gyu maaf dan... makasih.”

mingyu hanya tersenyum. “anytime, han.”

“gue anter lo pulang ya, jangan pulang sendiri.”

“tapi gue bawa mobil?”

“tinggalin aja disini. besok lo bawa pulang. besok pagi biar gue jemput ke rumah sakitnya.”

jeonghan hanya diam.

“gue anggap lo setuju. udah, gue ga nerima penolakan.”

kemudian mingyu bangkit dan mengambil tas jeonghan yang sedari tadi diatas meja kerjanya, memasukkan ponsel dan beberapa barang kedalamnya lalu menyerahkannya pada jeonghan. jeonghan hanya diam menerima perlakuan itu. lalu mingyu menyodorkan tangannya.

“yuk. pulang sama gue..”