jeongcheolpride

Minghao menatap cincin yang baru saja bertengger di jari manisnya. Bersamaan dengan senyumnya yang kian merekah. Begitu pula hatinya yang begitu berbungah.

Ya.. Kini ia telah resmi menjadi suami sang kasih.

Sepersekian detik kemudian, ia kembali menatap sang suami yang juga menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut dan penuh akan kasih sayang.

Kedua mempelai sama-sama diliputi perasaan berbungah yang kian memuncak.

“I'll always love you, my love.” Ucap Jun final sebelum mengecup lembut bibir sang kasih.

Bertepatan dengan tepuk tangan dan juga gemuruh sorak suara yang memenuhi ruang.

.

Saat ini, bukan hanya keduanya yang tengah berbungah.

Para kerabat serta sahabat mereka pun turut merasakan perasaan sukacita. Turut bahagia akan kebahagiaan kedua mempelai, bahkan ada pula yang turut sedih karena harus merelakan sang sahabat.

Seokmin, Soonyoung, dan Jihoon terlihat begitu bahagia dengan tepuk tangan dan seruan yang tak henti mereka lontarkan.

Berbeda dengan Jeonghan yang kedua manik matanya tengah berkaca-kaca.

Entahlah.. Ia hanya terharu, turut merasakan euforia kebahagiaan yang begitu memenuhi sang ruang.

“Jangan nangis dong.” Ucap Mingyu pada sosok di sebelahnya.

“Gak nangis kok.” Ujar Jeonghan yang terus menghadap ke langit-langit ruang.

Entah apa yang terjadi pada keduanya setelahnya.

.

Mari berpindah pada satu sosok.

Satu sosok yang hanya tersenyum getir sejak ia melangkah masuk tadi. Sosok yang berusaha tersenyum sebisanya.

Choi Seungcheol.

Ya.. Apa yang ia khawatirkan benar terjadi. Ia benar-benar menemukan sosok yang begitu ia hindari.

Ia melihat sang mantan tengah menggandeng lengan adik kandungnya, Mingyu di ujung ruang.

Ia seakan tengah ditampar oleh kenyataan.

Kenyataan jika di sini, ia masih mencinta. Berbeda dengan sang cinta yang ternyata telah menemukan cintanya.

Hati Seungcheol patah... patah untuk kedua kalinya.

.

Belum sempat ia menyelasaikan lamunannya, ia seakan kembali dipermainkan oleh sang takdir.

Jantungnya berdegup tak karuan saat ia sadar jika sang kasih tengah berada di hadapanya.

Ya.. Yoon Jeonghan.

Jeonghan tengah berada di hadapannya.

“Mas Seungcheol!!?”

Sapa Jeonghan dengan senyumnya yang merekah saat mendapati keberadaan sosok yang telah lama ia cari.

“Mas kemana aja sih?!” Ucapnya seraya memeluk sosok yang hanya bisa diam terpaku.

“Eh maaf mas.” Ucap Jeonghan saat sadar jika tak seharusnya ia memeluk sang sosok.

Seungcheol terdiam.

Ia bingung untuk bersikap.

“Mas kemana aja sih?” Tanya Jeonghan lagi yang lagi-lagi hanya dijawab dengan keterdiaman.

“Kalo orang nanya tuh jawab mas!” Ucap Mingyu yang tiba-tiba telah hadir diantara keduanya.

“G-gyu.. mas gak ngapa-ngapain han kok.” Ucap Seungcheol gugup, entah apa yang ia katakan.

“Hah apaan sih mas gak jelas! Mending mas anterin Jeonghan deh sana. Gue duluan ya han.” Ucap Mingyu yang membuat Seungcheol mengerutkan keningnya.

Ia benar-benar tak dapat membaca situasi saat ini.

“Mas? Ayo!”

Ajak Jeonghan kemudian seraya menarik lengan Seungcheol yang masih kebingungan.

Seungcheol menatap room chatnya dengan jeonghan lekat. Kedua sudut bibirnya pun turut tertarik sejak tadi.

Ia tak dapat menahan senyumnya yang kian mengembang di setiap detiknya.

'Apa gue pulang sekarang aja ya?' Gumamnya menimang.

Entah mengapa, ia ingin sekali menemui sang mantan yang terus memenuhi benaknya akhir-akhir ini.

Terlebih jeonghan yang kini masih terbaring lemah di rumah sakit. Membuatnya ingin memastikan sendiri bagaimana keadaannya detik ini.

Ia terus menimang hingga terdengar suara Jun yang mengintrupsi.

“Lo kenapa sih? Tadi senyam-senyum sendiri tapi sekarang malah galau gitu tuh muka.”

“Gue kepikiran Jeonghan. Dia masih dirawat.” Ujarnya to the point.

“Pulang aja sana daripada lo gak konsen kerjanya ntar.”

“Hmmm.”

“Eh tapi bukannya lo ada libur ya?”

“Iya sih dua harian. Tapi nanggung kalo bolak balik.”

“Yakin gak mau pulang dulu?” Ucap Jun menambah kebimbangannya.

“Deket loh Jepang-Jakarta dan lo bisa langsung mastiin keadaannya. Is it difficult?” Ucap Jun lagi yang semakin membuatnya menimbang.

“Hmm tapi..”

“Tapi?”

“Oke deh.”

..

A few hours later..

Seungcheol menatap gantungan kelinci yang tengah ia genggam.

Gantungan lucu yang ia temukan saat mengitari Osaka. Gantungan yang entah mengapa mengingatkannya pada seseorang yang masih terbaring di rumah sakit.

Ia melangkahkan kakinya dengan senyumnya yang kian mengembang.

Ia telah sampai di Jakarta. Bahkan, saat ini, ia telah berada di rumah sakit tempat Jeonghan dirawat.

Kini, ia membayangkan bagaimana reaksi Jeonghan saat melihatnya tiba-tiba nanti.

Ya, anggap saja ia telah memberikan kejutan untuk sang pujaan.

Akankah ia senang? Akankah ia tersenyum saat melihatnya? Entahlah..

“Bener disini kan ya.” Gumamnya saat melihat papan nama kamar 1004 dari kejauhan.

Senyumnya semakin mengembang saat kamar itu semakin dekat. Degup jantungnya pun terasa semakin cepat.

Sungguh, ia tak sabar.

Sepersekian detik kemudian,

Langkahnya terhenti saat tepat berada di pintu masuk ruangan. Bersamaan dengan senyumnya yang kian memudar.

Begitu juga rasa sakit yang mulai menjalar pada hatinya.

Tatapannya seakan kosong seketika saat mendapati kedua sosok yang sangat familiar yang tengah saling mendekap.

Kedua sosok yang terlihat saling berbagi senyum dan tawa.

Kedua sosok yang tengah saling menatap dengan penuh cinta?

Jeonghan dan Mingyu.

Faktanya.. Seungcheol salah. Ia lah yang tengah mendapatkan kejutan saat ini.

saat ini kita berada di ketinggian 36.000 kaki.

Seungcheol sendiri tidak ingat sudah berapa lama ia berada di atas awan menerbangkan burung besi yang memang sudah menjadi pekerjaannya, sama seperti pada kenyataan, Seungcheol terlalu asik berada di atas awan sampai-sampai ia lupa siapa dirinya dan apa posisinya.

Seungcheol memang mencintai Jeonghan. tapi Jeonghan?

apakah pria manis itu masih mempunyai perasaan yang sama sepertinya?

tentu saja Seungcheol lupa pada point itu. ia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sampai-sampai lupa bahwa Jeonghan sudah mempunyai orang lain dalam hatinya. Seungcheol menyalah artikan perasaan keduanya kala mereka kembali mempunyai hubungan baik. Seungcheol terlalu lupa karena Jeonghan begitu baik padanya juga keluarganya.

tempo hari saat ia melihat Mingyu duduk memegang tangan Jeonghan, bercengkrama layaknya sepasang kekasih dan berbagi pelukan pada akhirnya, Seungcheol akhirnya tersadar akan kenyataan yang sebenarnya.

hatinya terasa perih mengingat betapa konyolnya posisi dirinya saat ini, dan ia harusnya sadar diri. Seungcheol memutuskan menarik dirinya dari mereka, sudah lebih dari satu minggu Seungcheol menggantikan Jun terbang ke berbagai negara. baginya dengan cara inilah ia selalu bisa menenangkan dirinya, lagipula untuk apa tetap tinggal? ia tak mau kehadirannya hanya menambah masalah, apalagi dirinyalah penyebab Jeonghan dan Mingyu bertengkar tempo hari, dan syukurlah, ia lega melihat mereka berdua berbaikan.

kabur? ya, Seungcheol selalu merasa menjadi seorang pengecut karena hanya selalu kabur yang ia pilih sebagai jalan keluar. tapi ia merasa dirinya tak salah kali ini, karena membiarkan orang yang ia cintai bahagia juga akan membuatnya bahagia bukan? harusnya.

tersadar dari lamunannya karena monitor telah menunjukkan waktu untuk mendarat, Seungcheol sudah harus bersiap mendaratkan pesawat dalam kemudinya sebelum memutuskan untuk istirahat dan mengubur dirinya dalam ke-galau-an kembali.


“Cheol!”

“Jun…?”

Jun berlari ke arahnya yang sudah akan meninggalkan bandara. Jun mengenakan seragam sama seperti dirinya.

“Jun… kan lo cuti?”

“gue ngambil penerbangan hari ini doang Cheol, ke shenzen. sekalian mau ketemu beberapa keluarga disana, cici gue juga disana kan..”

Seungcheol hanya menganggukkan pelan kepalanya.

“gimana persiapannya Jun? apa yang bisa gue bantu?”

“udah beres kok, Cheol. gue bisa handle, tenang lo.”

mereka berdua tertawa bersama. namun dalam tawanya, Jun dapat melihat Seungcheol sedang mati-matian membuang semua rasa gundahnya.

“lo okay, Cheol?”

tawa itu berhenti, berganti dengan senyuman tersirat.

“okay kok. kenapa ga okay?”

“lo ga pulang Cheol?”

“nggak, Jun..”

“kabur lagi?”

Seungcheol hanya diam menatap Jun tanpa mengeluarkan jawabannya.

“gue udah hafal banget lo kalo lagi begini, pasti lagi kabur kan?”

Seungcheol hanya terkekeh menanggapi.

“jangan dibiasain, Cheol. masalah itu diselesain, bukan di diemin terus jadi gede”

“gak kok, Jun. masalahnya malah udah selesai, dan gue cuma perlu nenangin pikiran aja ini.”

Jun hanya mengendikkan kedua bahunya tanda ia pasrah pada jawaban Seungcheol, “ntar nikahan gue lo pulang kan?”

“di Jakarta ya jadinya?”

“iya, keluarga Minghao kan semuanya di Jakarta. jadi acaranya disana, kalo keluarga gue kan ga di Indo.”

Seungcheol terlihat berpikir, ia pasti akan bertemu Mingyu disana-bersama Jeonghan. apakah Seungcheol akhirnya harus menghadapi kenyataan dengan tidak kabur lagi?

“gue sama Minghao sama-sama temen lo, masa iya lo ga pulang?”

“gue pulang, kok.” jawabnya cepat.

iya, sudah saatnya Seungcheol bersikap seperti seorang lelaki dewasa, dengan tidak berlama-lama dalam keterpurukan dan mencoba mengalah. lagipula Seungcheol memang harus bisa menghadapi kenyataan dan tidak kabur lama-lama lagi bukan?

“gue pulang, Jun. gue pasti dateng.”

benar juga, Seungcheol sadar, mungkin kisah percintaan memang masih jauh untuk bisa ia jalani. mungkin selama ini yang Seungcheol jalani adalah semata-mata hanya untuk ia petik pelajarannya. dengan sifatnya yang jauh dari kata sempurna dan kesibukan yang banyak menyita waktu, mungkin Seungcheol memang butuh teguran dari beberapa hal yang belum bisa hatinya kendalikan.

pada akhirnya, Seungcheol harus belajar mengikhlaskan apa yang bukan miliknya.

baik Jisoo… maupun Jeonghan.

apakah ‘lega’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Seungcheol saat ini?

jawabannya tidak, namun juga iya.

Seungcheol akhirnya sadar bahwa perasaannya selama ini secara tak sadar terlalu ia paksakan dan berujung menyakiti Jisoo, mantan tunangannya. Jisoo memang seharusnya ia lepaskan, karena Seungcheol tidak yakin apakah ia bisa mencintai pria manis itu sebesar ia mencintai Jeonghan.

tapi bohong jika ia tidak sedih, Seungcheol tidak sejahat itu dengan mendominasikan rasa lega dibandingkan sedih hatinya. bahkan hatinya merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya, sama seperti saat ia kehilangan Jeonghan dulu. Jisoo tetaplah orang yang berhasil mengisi hatinya, hanya bedanya, Seungcheol hanya menyayangi Jisoo, tanpa melibatkan perasaan cinta didalam hubungan mereka.

Seungcheol mulai menyadari hal itu saat ia dan Jeonghan kembali menjalin hubungan baik sebagai teman. rasanya ia merasa gelisah setiap berada didekat sang mantan, yang harusnya tak ia rasakan kalau memang hatinya tak punya perasaan apa-apa dan sudah berdamai dengan masa lalunya, namun Seungcheol malah selalu merasa bersalah pada Jisoo setiap ia bahagia hanya dengan memandang wajah manis Jeonghan.

apa kabar Jisoo yang telah ia sakiti hatinya?

apa kabar Jisoo yang selalu berada didekatnya saat ia terpuruk dahulu?

rasanya Seungcheol kembali bimbang, bukan pada rasa cintanya, namun pada tindakannya. apakah benar seperti ini, meninggalkan Jisoo yang selalu ada untuknya demi Jeonghan yang memang tak pernah pergi dari hatinya?

namun perkataan Jisoo masih terngiang jelas,

“kejar kebahagiaan Mas ya, raih apa yang seharusnya menjadi milik Mas…”

Jisoo adalah orang yang selalu memberi energi positif bagi Seungcheol, baik tindakan maupun tutur katanya. dan dengan satu kalimat yang Jisoo tuturkan dengan tulus itu, Seungcheol sadar bahwa ia memang harus mengejar kebahagiaannya yang ada pada Jeonghan.

Seungcheol mencintai Jeonghan, sangat, bahkan sampai detik ini.

Seungcheol harus sabar.

satu minggu.

hanya satu minggu lagi sebelum ia kembali ke Indonesia. dan Seungcheol janji, ia akan langsung menemui Jeonghan untuk memeluknya dan tak akan melepaskan pria itu lagi.

Seungcheol berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan menjemput bahagianya sebentar lagi.

—Cause you’re my home.

dua hari.

sudah dua hari sejak Seungcheol mendapatkan apa yang ia mau, yaitu Jeonghan menandatangani surat perceraian mereka. tapi mengapa dirinya malah tak tenang? harusnya ia lega bukan?

bayangan wajah manis yang basah karena air mata itu, suara parau yang melepaskan diri itu, dan kata demi kata yang ia keluarkan sebelum akhirnya benar-benar pamit dari hidup Seungcheol membuat dirinya tak pernah berhenti memikirkan Jeonghan sejak hari itu.

apa yang salah dengan Seungcheol?

Seungcheol memutuskan untuk berjalan-jalan di malam hari yang sudah cukup larut seharusnya. menurutnya; udara malam hari cukup baik untuk hati yang gelisah. ia hanya berjalan kaki, entah kemanapun kakinya melangkah.

Seungcheol pun sampai disebuah taman yang letaknya tak jauh dari rumahnya, senyumnya merekah karena kini selekebat bayangan masa lalu satu-persatu masuk dalam pikirannya. dan tentu kenangan tersebut hanya ada Jeonghan didalamnya.

langkah demi langkah membuat Seungcheol sampai pada rumah pohon yang terletak diujung taman. rumah pohon hasil karyanya dahulu, dan tempat ia sering menghabiskan waktu bersama Jeonghan.

“pokoknya suatu saat aku ingin menikahi kamu.” ujar Seungcheol kecil,

“kenapa aku?” sahut Jeonghan kecil dengan polosnya,

“karena aku pengen nikah sama cinta pertamaku”

Jeonghan menunjuk dirinya sendiri, “aku, kak? cinta pertama kakak?”

anggukan mantap ditampilkan sebagai jawaban, “tentu saja.”

Seungcheol ingat, Jeonghan itu cinta pertamanya. ia tersenyum kala kembali mengingat percakapannya bersama yang dulunya adalah kesayangannya. percakapan yang menurutnya manis.

pada akhirnya pun mereka juga menikah seperti apa yang pernah Seungcheol ucapkan, namun bukan pernikahan seperti yang diinginkan orang pada umumnya.

bulu kuduknya merinding saat tiba-tiba Seungcheol merasakan gendang telinganya menyapa suara sesegukan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. malam sudah terlalu larut, siapa yang menangis di taman jam segini?

sudah siap ia akan berlari karena takut, namun sebelum sempat melakukan itu, ia menangkap sosok yang bahunya bergetar kini berada di dalam rumah pohon itu. bukan, itu bukan hantu. Seungcheol terlalu mengenali perawakan orang itu walau hanya ujung rambutnya sekalipun.

ya, suaminya, Jeonghan.

atau lebih tepatnya sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya.

“Jeonghan…?” gumamnya pelan yang langsung membuat Jeonghan menghentikan isakannya.

“Jeongie…?”

“kakak? kakak ngapain disini?” tentu saja Jeonghan kaget.

Seungcheol yang kembali mendengar suara parau itu kini naik karena ingin memastikan keadaan si manis.

“kakak.. jangan naik”

tentu saja Seungcheol tak menghiraukan itu, karena ia harus memastikan keadaan Jeonghan saat ini. Jeonghan yang dapat merasakan lantai kayu rumah pohon itu berdecit karena ditapaki oleh manusia lainnya pun hanya mendengus kecil.

are you okay?

pertanyaan macam apa itu. apakah Jeonghan kelihatan harus oke dengan keadaan mereka sekarang?

terpaksa Jeonghan harus menghentikan tangis berjam-jam nya hanya agar tensi diantara keduanya tak terasa menegangkan. ia menghapus air mata yang masih bertengger di kedua pipi putihnya, tapi mata bengkak dan wajah sembabnya tak dapat membohongi Seungcheol, dan lagi, pria ini terlalu mengenal Jeonghan luar dalam.

“kakak inget ga, rumah pohon ini kan hasil kerja keras kakak dan Mingyu dulu.”

lagi, mengalihkan pembicaraan

Seungcheol mengangguk dengan senyum tipisnya, “inget. ga mungkin aku ga inget.”

keduanya kini terdiam ditemani suara jangkrik malam hari, sungguh hari sudah semakin larut tapi keduanya bahkan tak peduli dengan hal itu.

“kakak…”

“hm?”

Seungcheol menoleh untuk menatap si manis yang sedari tadi hanya memandang lurus ke depan. tapi kini kepala itu menunduk, menatap jalan setapak yang ada dibawah sana.

“aku minta maaf…”

Seungcheol mengerutkan alisnya, minta maaf? “minta maaf kenapa?”

Jeonghan tersenyum masih memerhatikan jalan setapak dibawahnya, “maaf…karena aku… kakak harus terjebak disini dan merelakan waktu kakak terbuang sia-sia hanya karena kejadian itu.”

Seungcheol tak menjawab. dirinya tengah menahan amarah karena ia tak suka mendengarnya.

“aku jadi inget waktu itu kakak harus merelakan semuanya demi kita, diumur yang terbilang cukup muda, yang harusnya kakak menekuni cita-cita kakak seperti anak-anak lainnya malah harus dihentikan karena bayi di kandunganku.”

kenapa? kenapa Jeonghan harus membahas hal itu lagi. bagaimanapun itu adalah kesalahan mereka berdua, bukan hanya dirinya.

“Jeongie.. kakak ga suka kamu ngomong begitu. kita udah pernah bahas ini kan?”

si manis kembali tersenyum, namun kali ini raut wajahnya amat sangat menyiratkan kesedihan.

“mungkin kakak ga bakal ninggalin aku kalo anak itu lahir dan terus terjebak dengan aku disini selamanya, makanya tuhan ambil anak itu.”

“Jeonghan!”

air mata kembali jatuh membasahi pipi putih yang paling muda namun dengan cepat ia menyekanya. dan Seungcheol merasakan matanya memanas, hatinya terenyuh. tanpa sadar kini tangannya mengepal hingga memutih. Jeonghan tahu, Seungcheol tak akan mau mengingat hal itu lagi, rasanya ia menyesal karena telah membahas hal yang tak pernah mau diungkit oleh siapapun terlebih mereka sendiri yang mengalaminya.

Jeonghan menggenggam kepalan tangan Seungcheol itu dan dielus dengan sabar.

“maaf kakak… aku ga bermaksud buat kakak marah dengan ingat kejadian itu lagi.”

i’m totally okay, percayalah..

bagaimana pun, aku senang sekarang kakak bisa raih cita-cita kakak yang sempet ketunda dulu.. aku bangga sama kakak. kakak hebat.”

kini si manis menoleh untuk kembali mempertemukan manik cokelatnya dengan manik hitam legam milik si kakak, diikuti senyum tipis yang menyiratkan tak ada kebohongan dibalik kata-katanya.

entah apa yang Seungcheol pikirkan saat ini hingga dalam satu hentak kuat ia menarik tangan Jeonghan yang masih dalam genggamannya dan menarik tubuh kecil itu kian mendekat hingga kini bibirnya tengah membungkam bibir yang lebih muda. Jeonghan kembali meneteskan air matanya dalam ciuman keduanya, ia tak memberontak. mungkin perasaan ini yang sudah lama ia rindukan walaupun saat ini harus ia rasakan ketika keduanya memutuskan setuju untuk berpisah.

Seungcheol semakin kehilangan akal karena kini kepalanya ia miringkan untuk memperdalam ciuman keduanya, melumat bibir Jeonghan dengan lembut seakan ia tak ingin tubuh yang rapuh itu sendirian. mereka terbawa suasana.

ciumannya pun semakin lama semakin intens, Seungcheol lupa bahwa bibir ini adalah favoritnya sejak dulu karena kini ia seperti lupa diri dan terus menyesap bibir Jeonghan sedikit lebih kasar dari sebelumnya, membuat Jeonghan mendorong tubuhnya karena merasa kekurangan udara.

“-kak, stop. kita ga boleh kaya gini.”

Seungcheol yang tak siap kehilangan bibir itu hanya memandang Jeonghan dengan sirat mata kecewa,

“Jeongie…”

tapi Jeonghan tak peduli, lebih tepatnya ia tak mau menatap wajah Seungcheol apalagi pusing karenanya. dengan cepat Jeonghan bangkit dan pergi meninggalkan Seungcheol disana sendiri, masih seperti kemarin, hanya diam memandang punggung si manis yang perlahan hilang dari pandangannya.

—Cause you’re my home.

Seungcheol terbangun karena suara kicauan burung di dekat jendela kamarnya. sungguh bising namun ia tak merasa terganggu, begitulah khas suasana di kota terpencil dari pada kota Jakarta yang selalu ruwet dengan kendaraan yang tak pernah berhenti berlalu-lalang.

ia perlahan bangkit dan melihat pantulan dirinya di cermin, berantakan, tapi tidurnya lumayan nyenyak karena ini adalah rumahnya, tempat ia dibesarkan.

Seungcheol pun memilih untuk mandi pagi sebelum akhirnya menyapa sang ibu yang kini tengah mengaduk-aduk masakannya di dapur.

“buk.. bapak mana?”

“sudah berangkat.”

ah Seungcheol lupa, sang ibu sedang merajuk padanya.

“bu…”

terdengar helaan nafas dari sang ibu, namun tak ada jawaban. ibu terus menyelesaikan kegiatan memasaknya, memindahkan masakannya ke piring, mengelap kompor yang sudah selesai dipakai, mencuci peralatan masak dan berakhirlah dengan selesainya semua pekerjaan rumah di waktu yang menunjukkan pukul 9 pagi itu. Seungcheol dengan sabar menunggu di meja makan, menunggu sang ibu selesai dengan kegiatannya dan untuk ia ajak bicara.

dan beruntung karena sang ibulah yang kini menghampirinya dan duduk tepat didepannya, di kursi meja makan keluarga Choi tersebut.

“kak… ibu mau bicara.”

“iya silakan ibu..”

sang ibu kembali menghela nafasnya pelan, “kakak tahu kan, pernikahan itu bukan sebuah permainan?”

Seungcheol mengangguk, “tau bu..”

sang ibu hanya terus menatap putranya tepat di mata, “kakak yakin…mau bercerai?”

Seungcheol kembali mengangguk, “yakin, bu.”

“sudah ndak sayang lagi sama Jeonghan?”

Seungcheol terdiam sesaat, harapan sang ibu itu adalah sebuah jawaban, namun pupus saat Seungcheol mengangguk untuk ketiga kalinya.

“sudah ngga ada rasa nya lagi, bu.”

mata sang ibu tampak berkaca-kaca, apa yang bisa ia katakan jika sang anak memang tak nyaman lagi dengan rumahnya, siapapun pasti akan menyarankan untuk pindah rumah daripada tetap tinggal saat kita sudah tak nyaman dengan rumah lama kita.

“baik, ibu gak akan melarang kakak. asal seperti kata bapak, kakak benar-benar memikirkannya dengan matang, dan atas persetujuan bersama…dengan Jeonghan.”

Seungcheol mengangguk sembari menampilkan senyum dengan lesung pipinya, ia bangkit dan memeluk sang ibu yang masih terduduk dikursinya.

“bu… terimakasih banyak ya, sudah berbesar hati menerima keputusan kakak. dan maaf, kalo kakak mengecewakan ibu.”

sang ibu menyeka air mata yang belum sempat keluar menyentuh pipi keriputnya itu, dan mengangguk setelahnya.

“iya, semua yang terbaik untuk kalian berdua, ibu hanya bisa mendukung.”

.

Seungcheol tampak berkeliling di daerah terpencil yang sebenarnya bisa dikatakan luas itu. tempat tinggalnya bukanlah desa tapi bukan juga kota besar.

setelah memarkirkan mobilnya, ia menapaki trotoar didepan ruko-ruko yang sejajar rapi, mencari supermarket karena ada yang ingin ia beli. tak lupa, kacamata hitam terpasang di kedua matanya, menambah kesan orang kota diantara sederhananya orang-orang di daerah itu.

“CHEOL!”

satu suara mengagetkan sekaligus membuatnya kesal, siapa yang meneriakinya selantang itu. belum sempat sebuah umpatan ia keluarkan karena kini ia malah tersenyum lebar ketika mengarahkan pandang ke asal suara,

Mingyu, sahabat kentalnya sedari kecil-selain Jeonghan.

“GYU— astaga!”

Seungcheol menghampiri sahabatnya dan kini mereka berpelukan erat dan menepuk punggung satu sama lain sekuat yang mereka bisa. sakit? tentu saja. tapi tak berlaku karena dua sahabat ini terlalu rindu.

“gilaaa keren banget nih orang kotaaa”

Seungcheol meninju kuat perut sahabatnya itu, “gua hampir marah loh tadi, gua kira siapa manggil manggil gua kaya begitu”

Mingyu tertawa, “lah elu juga gua manggil dari tadi ga denger, ya gua teriakin aja lah”

lagi, Seungcheol menoyor kepala milik si bongsor.

“lu kemana aja ga balik-balik Cheol, Han nungguin lu kaya nungguin bang toyib tau ga, parah lo”

Seungcheol hanya tersenyum tipis, tidak tertarik dengan obrolan yang sedang sahabatnya coba mulakan.

“Gyu daerah ini udah banyak berubahnya ya, gua ampe ga hafal lagi dah”

mengalihkan pembicaraan

sayangnya Mingyu terlalu mengenal sahabatnya itu, bahkan setelah tak bertemu 5 tahun sekalipun.

“kenapa lu alihin topik gua?”

Seungcheol terdiam.

“ada masalah lu sama Jeonghan?”

Seungcheol tak menjawab, hanya tersenyum, membuat Mingyu mengangguk paham.

“oke- gua ga akan nanya sampe lu siap cerita, bro.”

“thanks, Gyu..”

“gua cabut dah, Seungkwan nunggu dirumah. tar malem lu ke tongkrongan kek, nih anak-anak pasti seneng kalo tau lu balik anjir.”

“lah lu sama Seungkwan…? bukannya dia ama si bule?”

“mana ada, gua rebut lah dengan kegantengan gua yang dikenal diseluruh kota ini, mana mungkin Seungkwan nolak gua.”

“si anjir… 5 tahun lalu perasaan lu masih sama hao deh?”

“kaga, bocahnya udah terbang ke china ama lakinya.”

“lah anjir sedboi”

kemudian keduanya menertawai obrolan mereka sendiri dengan cukup keras, entahlah, Seungcheol seperti bernostalgia kala ia berbincang dengan Mingyu. kangen juga…

“gua tunggu pokonya lu kudu ke tongkrongan tar malem”

“iyaiyaaa, tar gua kesana dah”

dengan itu berakhir pula obrolan antar kedua sahabat itu, kini keduanya memilih berbalik ke tujuan asal, dan tanpa Seungcheol tahu, Mingyu sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi antara Seungcheol dan Jeonghan saat ini.

.

sebelum Seungcheol menemui Mingyu, ia sempat kembali mendatangi rumahnya bersama sang suami. namun berkali-kali ia memanggil, tak ada satupun sahutan dari dalam sana. Seungcheol pun memutuskan untuk langsung saja menemui sahabatnya yang pasti menyiapkan pesta kecil-kecilan karena dirinya yang kembali ke kampung halaman.

dan benar saja, saat Seungcheol sampai di sebuah bar kecil yang sering mereka jadikan tempat tongkrongan, disana Seungcheol disambut oleh Mingyu yang pertama, kemudian Seokmin, Chan dan juga Joshua. mereka adalah teman-teman masa kecil Seungcheol, teman-teman sepermainan yang tumbuh bersama hingga dewasa.

satu persatu dari mereka memberikan pelukan hangat menyambut sahabat yang telah lama hilang dari pandangan. mereka berbincang-bincang cukup lama dan tak jarang mengeluarkan tawa yang sudah pasti membuat sakit kepala siapapun yang mendengarnya.

“…iya. ga percayaan banget lu pada. si Mingyu ampe datengin itu hari lamaran si bule ama Seungkwan demi rebut si Seungkwan, menurut lo aja dah. si bule mukanya merah banget kek pengen makan orang, tapi mana bisa dia nonjok si Mingyu didepan orang tuanya Seungkwan.” seru Chan yang masih tak habis pikir mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu.

“lu giliran nyeritain orang aja JAGO lu! tuh si yeri udah lu lamar belom? keburu diambil orang baru tau rasa lu.”

kemudian Mingyu dan Chan hanya saling menampar, memukul dan jambak-jambakan membuat yang lain tertawa melihat tingkah keduanya. hati Seungcheol menghangat, rasanya masih seperti dulu, sahabatnya masihlah sama. rasanya Seungcheol benar-benar kembali ke masa mudanya saat setiap hari menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya itu.

dan lagi… sebelum ia harus mengubur dalam-dalam kebiasaannya itu, dulu.

tiba-tiba pintu bar kecil itu tampak digeser menampilkan dua orang dengan satunya menggendong bayi perlahan masuk ke dalam sana. perhatian para pria dewasa tadi teralihkan kearah sana karena bunyi pintu yang lumayan besar hingga mengalihkan atensi mereka semua.

tentu saja satu orang diantara pria dewasa tadi dan satu orang lainnya yang baru menginjakkan kakinya disana terlihat menegang. pasalnya pertengkaran hebat diantara dua orang itu kemarin masih belum menemukan titik temu. pandangan mata tak mereka alihkan, yang satu memiliki tatapan lega sedangkan yang satu menatap penuh amarah.

“Jeonghan..” gumam Seungcheol yang sedari tadi mengunci pandangnya ke arah Jeonghan, pria yang sedang menggendong bayi yang baru saja menapaki kakinya di tempat yang biasa juga menjadi tempat tongkrongannya.

Jeonghan membuang pandangnya, mengalihkannya pada Joshua yang kini bangkit menghampirinya.

“Yoona rewel Han?”

Jeonghan yang masih gugup hanya menatap Joshua tanpa sepatah kata.

“it’s okay, kita pulang aja, kamu kerumahku. biar Seok nanti balik sama yang lain. kamu ga mau ketemu Cheol dulu kan?” bisik Joshua yang paham akan situasi saat ini.

jujur saja, mereka semua tahu apa yang sedang dialami keluarga kecil Seungcheol dan Jeonghan, hanya saja tak ada yang bertanya karena merasa itu bukan hal yang sepatutnya dipertanyakan. toh baik Seungcheol maupun Jeonghan akan membagikannya sendiri jika dirasa harus membagikannya. bukan hak mereka mencampuri urusan rumah tangga orang lain, sekalipun keduanya adalah sahabat mereka sendiri.

saat Jeonghan mengangguk dan berbalik hendak pergi, Seungcheol menghentikannya dengan memanggil nama Jeonghan cukup keras, membuat Jeonghan berbalik dengan wajah menyiratkan ekspresi tak suka. Seungcheol pun bangkit dan menghampirinya.

“urusan kita belum selesai, aku perlu bicara sama kamu, Jeonghan.”

Jeonghan yang tadinya sempat menunduk karena tak ingin melihat wajah lawan bicaranya kini mengangkat pandangannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. yang hanya bisa Seungcheol lihat adalah kemarahan dan kekecewaan yang terlihat dari cara Jeonghan menatapnya.

Jeonghan menatap Joshua seakan meminta pertolongan, tapi Joshua hanya menganggukkan kepalanya dengan maksud; pergilah, bicarakan semuanya sampai tuntas.. dan Jeonghan menelan ludah untuk itu semua. ia kembali menatap sang suami dan segera keluar dari sana sebagai jawaban,

“sana, bicarain baik-baik.. semoga ketemu jalan keluarnya.” ujar Joshua pada Seungcheol, yang dihadiahi anggukan terimakasih dari Seungcheol. setelahnya ia meninggalkan Joshua disana bersama ketiga orang lainnya yang tampak hening melihat kedua pasangan tadi.

.

kini Seungcheol dan Jeonghan berada di mobil milik Seungcheol, masih dengan Jeonghan yang hanya diam, tak mencoba memulai percakapan dengan sang suami.

“Jeonghan…”

Seungcheol mengambil tangan Jeonghan untuk digenggamnya.

“Jeongie…”

Jeonghan yang menunduk pun perlahan mengangkat pandangannya kala mendengar suara serak itu memanggil namanya dengan panggilan sayang yang mereka pernah sepakati dulu, Jeonghan mengangkat pandangannya mempertemukan manik cokelat miliknya dengan manik hitam legam milik sang suami. tidak sampai 10 detik Jeonghan kembali membuang pandangannya, ia tak akan sanggup menatap suaminya yang mungkin sebentar lagi bukan lagi menjadi suaminya.

“Jeongie… dalam hidup ini, gak semuanya berjalan sesuai dengan yang kita mau, iya kan?”

Jeonghan tak menjawab.

“aku minta maaf…kalau keputusanku yang tiba-tiba malah menyakiti hati kamu. but i can’t do this anymore..?!

“k-kenapa kak…?” akhirnya suara lembut itu kembali menyapa gendang telinga Seungcheol.

just… i can’t do this anymore.

“karena kakak akan menikah dengan pacar kakak yang seorang komposer terkenal itu?”

Deg

“Jeongie—

“aku tau kak… aku tau semuanya. aku ga pernah hubungin kamu ataupun kita ga pernah berhubungan bukan berarti aku ga tau apa-apa tentang kakak.”

nafas Seungcheol tercekat, mengapa hatinya sakit mendengar satu persatu kalimat yang Jeonghan lontarkan.

“aku hanya berusaha menutup mata, percaya suatu saat kakak akan pulang dan tinggal lagi disini sama aku, atau kakak bawa aku ke Jakarta buat nemenin kakak. tapi… semua itu ga mungkin lagi ya kak?”

Seungcheol hanya menatap si manis yang duduk dikursi penumpang tepat disebelahnya tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun. rasanya ada yang tersangkut di tenggorokannya, rasanya nafasnya tercekat, suaranya seakan hilang.

“aku bisa apa kak…kalau kakak udah ga bisa lagi sama aku? aku gabisa apa apa kan kak? aku harus lepasin kakak kan? seperti yang kakak mau?”

Jeonghan mengangkat pandangannya bersamaan dengan lontaran pertanyaan bertubi-tubi dengan rasa sakit yang ia lepaskan lewat pertanyaan-pertanyaan itu, kali ini ia beranikan menatap mata sang lawan bicara walaupun mata itu sudah amat basah dengan air yang menggenang penuh, bahkan pandangannya pun memburam.

Seungcheol merasakan matanya ikut perih, tapi ia tak tahu karena apa, yang ia tahu, inilah kesempatannya untuk menyelesaikan masalahnya, karena setelahnya ia menjawab seluruh pertanyaan Jeonghan hanya dengan kata… “maaf.”

sontak satu kata itu mampu membuat pipi Jeonghan basah seketika. Jeonghan tak menahannya, ia biarkan harga dirinya jatuh didepan sang lawan bicara dengan menangis sejadi-jadinya. Seungcheol hanya memejamkan matanya menahan diri agar tak lemah dengan isakan demi isakan yang ia dengar itu. sungguh ia tak berbohong bahwa tangisan Jeonghan masih menjadi hal yang paling ia benci, masih menjadi hal yang melemahkannya, dan ia tak boleh lemah untuk saat ini.

please.. jangan nangis kaya gini Jeonghan… kamu tau aku ga bisa denger itu.”

Jeonghan yang tengah sesegukan itu menutup mulutnya dengan lengan kirinya, agar suara tangisnya teredam. namun pemandangan itu justru lebih menyakitkan hati Seungcheol.

“Jeonghan please? why you doing this to me? kamu tahu aku ga bisa liat kamu nangis kaya gini!”

“terus aku harus gimana kak? kamu bisa dengan mudah mau ninggalin aku, disaat aku selalu percaya kalo kamu ga bakal begitu.. dan sekarang, wajar aku ngeluarin semua rasa sakit aku, aku mau lepas kamu lho kak? kamu ga akan terikat sama aku lagi! apa ga boleh aku nangis? apa aku harus tetep harus pura-pura kalau hatiku baik-baik saja? iya?”

hati Seungcheol mencelos mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Jeonghan, ia merasa menjadi laki-laki paling jahat di dunia ini.

dalam tangisnya, Jeonghan mengeluarkan satu buah kertas yang terlipat kecil dari dalam tas nya. satu buah kertas yang Seungcheol inginkan Jeonghan untuk menandatanganinya beberapa hari lalu. mau bagaimana pun bentuknya, rapi ataupun terlipat, yang penting tanda tangan itu sudah terbubuhi diatas kertas bermaterai itu. Jeonghan membawa kertas itu tanpa amplop pembungkusnya, kini ia membuka lipatannya dan menyerahkannya ke hadapan Seungcheol.

“seperti yang kamu mau kak, aku sudah tanda tangan.”

Seungcheol menatap kertas itu dalam diam, menatap Jeonghan disampingnya, dan kembali menatap kertas itu secara bergantian.

“ambil, kak. ini kan yang kakak mau?”

Seungcheol mengambil kertas pemberian Jeonghan bersama seringai sedih dari sang pemberi.

“Jeonghan—

“urusan kita selesai kan kak? selesai yang benar-benar selesai?”

Seungcheol mengangguk kecil masih menatap Jeonghan, bersama air mata yang jatuh untuk kesekian kalinya dari mata indah milik si manis yang duduk dikursi penumpang itu.

“pada akhirnya kita memang harus berpisah ya kak, mau 5 tahun yang lalu atau sekarang sekalipun.” Jeonghan tertawa lirih, “makasih kak…dulu ada saat aku butuh dukungan, saat aku sendiri dan hanya punya kakak, walaupun sampai sekarang aku juga hanya punya kamu, kak.”

lagi, Seungcheol merasakan hatinya bagai di iris.

“aku pamit, kak. titip salam buat bapak sama ibu ya, nanti aku kerumah kalo kakak udah balik ke Jakarta. untuk sekarang aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu, gak papa kan kak?”

Seungcheol hanya bisa mengangguk dengan jiwa yang sebenarnya tak tahu kemana, ia mengangguk tanpa tahu apa yang sedang ia setujui, yang ia tahu, ia kehabisan kata dan merasa ingin lenyap dari dunia saat itu juga.

“bahagia ya kak… aku rasa memang kakak pantas untuk bahagia, mau itu dengan siapapun.” si manis tersenyum sebelum akhirnya pamit dan meninggalkan Seungcheol yang hanya terdiam sembari menatap punggung yang kian menjauh dan perlahan hilang dari pandangannya.

one step closer..

—Cause you’re my home.

“buk…”

Seungcheol memanggil sang ibu yang tengah mencabuti beberapa rumput didepan rumahnya. sang ibu yang melihat kepulangan sang anak terlihat kaget, pasalnya Seungcheol benar-benar tak pernah pulang semenjak 5 tahun yang lalu.

“kak- ya Tuhan…anak ibuk” sang ibu dengan cepat memeluk anak semata wayangnya yang sudah 5 tahun tak ditemuinya itu. Seungcheol kemudian mencium punggung tangan ibunya,

“ibu sehat? kakak kangen bu.”

“sehat kak, cah lanang bagaimana keadaannya? kenapa tidak pernah pulang?”

Seungcheol tertawa renyah, “kakak sudah tua loh bu!” kemudian keduanya tertawa bersama, “ini kakak baru sempat aja bu.. bapak mana bu?”

“bapak di kios kak, jam segini ya belum pulang lho”

keduanya pun memutuskan masuk ke dalam rumah yang terbilang cukup besar di daerah itu. rumah milik keluarga Choi yang buyutnya terkenal memiliki usaha pengrajin alat musik tradisional itu sudah pasti terlihat besar walau terkesan sederhana. hanya saja usaha itu sudah lama tutup dan mereka hanya hidup dari hasil perkebunan dan sang bapak yang membuka kios kelontong kecil-kecilan.

“kamu lama disini kak?”

Seungcheol yang tengah menuang air putih ke dalam gelasnya seketika menghentikan aktifitasnya, terlihat berpikir sejenak lalu melanjutkan gerakan tangannya. ia menuang kembali air dan meneguknya hingga habis kemudian menggeleng pelan,

“enggak bu… kakak pulang soalnya ada yang mau di urusin.”

si ibu hanya mengangguk, tapi lalu teringat sesuatu,

“sudah bertemu jeonghan, kak?”

lama Seungcheol terdiam, ia kembali memikirkan kejadian satu jam yang lalu saat Jeonghan mengusirnya dari rumah mereka. pria manis itu terlihat marah dengan tangis yang tertahan.

Seungcheol mengangguk, “sudah bu. tadi kakak ke sana duluan.”

“terus Jeonghan nya kenapa ga ikut kemari?”

diam. Seungcheol terdiam lagi, “uhm.. bu.. kakak ada yang mau disampaikan, tapi tunggu bapak pulang dulu aja ya..”

si ibu awalnya terdiam, dari sang anak yang mengalihkan pembicaraannya saja ia dapat membaca keadaan, ada yang tak beres sedang terjadi. belum sempat sang ibu menanyakan lebih lanjut, tiba-tiba tuan Choi- atau bapak dari Seungcheol itu terlihat baru melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mereka dan ikut terkejut; sama seperti sang ibu pada awalnya.

Seungcheol dengan cepat memeluk sang ayah yang masih terdiam dengan senyuman yang hampir jelas tertarik sempurna; setengah kaget juga senang. keduanya saling menepuk punggung masing-masing, betapa senangnya sang ayah melihat kembali wajah putra semata wayangnya.

“kapan sampe kak?”

“baru beberapa menit yang lalu, pak.”

Seungcheol menyalimi tangan sang ayah.

“sudah lama sekali bapak ga liat kamu, kak.”

“maaf ya pak, kakak banyak kesibukan di Jakarta. jadi baru sempat pulang sekarang.”

“sudah makan nak?”

“belum pak, anaknya baru sampe lho.” sahut si ibu dari belakang putranya.

ketiganya pun memutuskan untuk membersihkan diri sebelum malam datang. Seungcheol memutuskan untuk langsung menyampaikan niatnya pulang ke kampung halaman saat mereka selesai makan malam nanti. bagaimanapun orang tuanya harus tahu rencananya ke depan akan seperti apa.

saat ketiganya sudah selesai dengan makan malam mereka, Seungcheol sempat menimbang-nimbang akan reaksi dari orangtuanya nanti, apakah sama seperti Jeonghan atau mereka akan mendukung keputusannya..

“Pak.. bu.. kakak mau bicara serius sama bapak dan ibu..”

orang tua tetaplah orang tua, mereka bisa merasakan ada ketegangan di wajah sang anak yang saat ini terlihat menghela nafas gugup berulang kali.

“kakak pulang ke semarang karena ada yang mau diselesaikan, pak.. bu..”

“apa itu nak?” sahut sang ayah to the point

lagi, Seungcheol menghela nafasnya lagi.

“kakak… uhm.. kakak mau mengurus perceraian, pak.. bu..”

kedua orang tuanya tampak saling melempar pandang dalam diam, kaget sudah pasti, tapi lebih terlihat tenang dan menunggu sang anak melanjutkan kalimatnya.

“kakak akan menikah dengan orang lain, pak.. bu..”

dan kali ini, sang ibu yang terlihat lebih terkejut.

“kak… kamu serius?”

Seungcheol mengangguk dengan mantap membuat si ibu mengerutkan keningnya bingung.

“bagaimana kamu bisa ingin menikah lagi, suami kamu lho masih ada disini.”

“tapi kakak ketemu orang yang tepat bu.. kakak pun udah lamar pacar kakak yang sekarang. dia udah banyak bantu kakak, nemenin kakak dari nol di Jakarta, dan kakak sayang sama dia buk.. pak..”

“tapi kamu tidak boleh seperti itu disaat suami mu masih ada kak, hidup, sehat, dan nungguin kakak terus.”

Seungcheol hanya terdiam tak tahu harus menjawab apa.

“bapak sama ibuk tidak akan memaksa, karena yang menjalani itu kakak. tapi pesan bapak coba kakak pikirkan lagi, sematang-matangnya. toh menjalankan yang terpaksa itu memang tidak enak rasanya, jadi bapak serahkan semua keputusan ke kakak, asal dibicarakan bersama dan juga atas keputusan bersama.”

“pak?” sela sang ibu tak setuju.

“biarkan bu.. mereka sudah dewasa, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. percayakan saja sama si kakak.”

si ibu yang masih tak setuju pun bangkit dan meninggalkan keduanya, tak tahu kenapa ia kurang setuju dengan langkah yang hendak diambil oleh putra semata wayangnya. tentu saja hal itu membuat Seungcheol panik hendak mengikuti sang ibu sampai ke kamarnya, namun urung karena sang ayah menahannya,

“sudah kak.. tidak apa. nanti bapak kasih pengertian ke ibumu. nah tugas kamu sekarang, bapak minta tolong di pikirkan baik-baik. jika memang sudah tidak bisa mau bagaimana toh? bapak tidak akan menghalangi jalan kakak, ya?”

Seungcheol tersenyum mendengar ujaran sang ayah yang memahami dirinya. dari dulu memang sang ayah lah yang selalu mengerti dirinya, terlebih sang ibu. mungkin di luar sana kebanyakan anak laki-laki sering bertentangan pendapat dengan ayahnya, namun tidak dengan Seungcheol. ayahnya justru sebaliknya.

“sudah.. istirahat saja, kamu belum sempat baringan kan? kamarmu sudah kangen sama yang punya itu.”

Seungcheol kembali memperlihatkan senyumnya, “terimakasih, pak.”

sang ayah hanya mengangguk dan perlahan bangkit meninggalkan Seungcheol sendirian di meja makan keluarga Choi tersebut.

ternyata semua tak semudah yang ia bayangkan, semuanya harus melewati proses yang lumayan memakan waktu, dan Seungcheol benar-benar harus sabar menghadapi itu semua.

—Cause you’re my home.

CUT!

“bagus. gue suka. oke, kita break 15 menit.”

ujar sang sutradara dengan lantang diikuti senyum seadanya, seakan puas dengan hasil kerjanya hari ini. keringat terlihat mengucur karena harus bekerja ditengah teriknya matahari siang hari. meskipun ia dan team berada dibawah sebuah tenda kecil yang menghalang sinar matahari mengenai langsung kulit mereka, tetap saja, siang itu sangatlah panas.

lalu sebuah tepukan pada bahunya sukses membuatnya tersenyum senang seakan ia tak pernah se-lelah ini.

“sayang…”

“hey… kamu ngapain disini?”

“bawain makan siang?”

senyum sang sutradara merekah, ia tarik yang tersayang untuk dikecup pelipisnya dengan mesra.

“panas banget loh hari ini? kenapa kamu ga di studio aja?”

kekasihnya menggeleng, “aku mau jaga pak sutradara, biar artis-artis disini ga genit sama kamu!”

sang sutradara tertawa renyah, mana mungkin ia akan tergoda jika kekasihnya saja sudah cukup membuatnya tak ingin melirik siapapun.

“kamu tau aku cuma sayang sama kamu?”

kekasihnya kembali mencebikkan bibir, “tetep aja, kemarin kata seungkwan ada artis yang bawain kamu makan siang.” ujarnya sembari memicingkan mata, kesal.

kembali, sang sutradara tergelak, “kamu ini, omongan seungkwan kok di dengerin. i love you, you know it.”

“yaaa i knew, hemmm….”

satu persatu kotak makan siang dibuka, menampilkan gulungan kimbap dengan isi daging, wortel, timun dan telur yang digulung bersama nasi dan nori lalu dibentuk sedemikian rapih dengan tataan salad juga beberapa potongan sosis asam manis. tak lupa jus jeruk dingin yang cocok menemani siang yang terik.

“sayang, ini kamu yang bikin?”

“iya? kan biasanya juga aku masakin?”

senyum sang sutradara semakin lebar, “cute. i love it, thankyou?”

“you’re welcome.”

sang sutradara mulai menyantap makanannya, lahap sekali, membuat kekasihnya merasa begitu dihargai. padahal masakannya cukup sederhana bahkan terkesan kekanakan untuk seseorang yang sudah berkepala 3 tapi tak pernah satu pun masakannya yang ditolak. senyumnya mengembang tiap kali sang sutradara menyendokkan makanannya, terlalu hanyut sampai tak mendengar namanya dipanggil sedari tadi oleh seseorang yang berdiri tak jauh dari tempat keduanya berpijak.

“Jihoon?!!”

dirinya tersentak begitu menyadari panggilan itu kini benar-benar berasal dari orang yang berdiri hanya satu langkah dibelakangnya.

“astaga gini nih kalo lagi pacaran, dari tadi gue manggil kaya orang gila ampe diliatin semua kru!”

siapa lagi, Seungkwan si Hair Stylist yang bertanggung jawab penuh dalam penataan rambut artis-artis pada project film yang dipegang Seungcheol kali ini.

ya, Seungcheol, si sutradara yang kini tengah istirahat ditemani sang kekasih, Jihoon, yang tak lain adalah seorang komposer terkenal yang namanya sudah dikenal di seluruh tanah air, bahkan di luar negara sekalipun.

“lu ngapain sih kemari? ganggu gue sama Seungcheol aja.”

“iya deh iya besok-besok gue ga ngasi info lagi deh soal PACAR lo ini kalo lagi banyak antrian artis yang ganjen”

Jihoon melotot, Seungkwan ini memang tak bisa dijaga omongannya. sedangkan Seungcheol hanya sibuk menahan tawa melihat tingkah kedua sahabat itu.

belum sempat mereka melanjutkan agenda adu mulut, panggilan bahwa 3 menit lagi syuting akan segera dilanjutkan menghentikan aksi kedua sahabat itu. Seungkwan pun langsung berlarian meninggalkan kedua pasangan itu tanpa berpamitan karena ia sudah harus menata kembali penampilan para artis, sedangkan Jihoon kini hanya bisa menghela nafas kasar karena itu artinya sang kekasih akan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

“hey, jangan cemberut dong?”

“udah dua bulan semenjak kamu di project film yang ini, akunya sering ditinggal, ini bahkan belum 10 menit aku ketemu kamu lho?” ujar Jihoon kesal.

Seungcheol tanpa malu memeluk tubuh kecil itu dihadapan para kru yang sedang bersiap dibelakangnya.

“maaf yah, aku sibuk terus jadi jarang ngapelin kamu deh.”

Jihoon mendecak sebal, bahasa ‘ngapelin’ terdengar seperti remaja padahal mereka sudah terbilang tua.

“jangan kesel dong, ntar malem kan ketemu lagi di Acara Penghargaan? kamu jadi nemenin aku kan?”

Jihoon mengangguk kecil.

“dandan yang ganteng, gandengan sutradara harus cakep.” colek jari Seungcheol pada hidung milik Jihoon yang dihadiahi kekehan kecil milik Jihoon.

“yaudah, aku pulang dulu kalo gitu. kamu selesai jam berapa hari ini?”

“sore, sayang.”

“uhm okay, jangan terlalu diforsir, jangan sampe sakit!”

“siap captain.”

selanjutnya hanya saling melempar senyum sebelum akhirnya Jihoon pergi dari sana, meninggalkan sang sutradara yang akan kembali beraktifitas.

.

Jihoon sudah selesai bersiap dengan dandanan yang bisa dibilang akan cukup membuat pangling siapapun yang melihatnya.

acara tahunan yang diselenggarakan untuk mengapresiasi para aktor, sutradara, dan pemusik tanah air itu tak pernah sekalipun tanpa menyertakan namanya dalam nominasi ‘best composser’ setiap tahunnya. apalagi sekarang ia menyandang status sebagai kekasih dari sutradara terkenal, keduanya kerap dipuja oleh beberapa penggemar karena ke-serasi-an hubungan mereka.

Jihoon memerhatikan dirinya dalam pantulan cermin. dalam balutan Balenciaga suits berwarna hitam itu, anting yang terpasang disebelah telinganya dan riasan tipis yang membuat wajahnya merona, Jihoon yakin semua mata akan tertuju padanya, terutama sang kekasih, Seungcheol.

tadi saat Jihoon masih bermalas-malasan karena sedang tak ada kerjaan, sang kekasih menelfon kalau ia ingin mereka berangkat satu jam lebih cepat dari janji awalnya. katanya acara kali ini akan lebih besar dari sebelumnya jadi untuk menghindari ricuhnya pers maka mereka akan berangkat lebih awal.

alhasil Jihoon yang tengah rebah dikasurnya pun segera bersiap, dan kini ia tengah menunggu sang kekasih menjemputnya.

jam sudah menunjukkan pukul 7 malam bertepatan dengan klakson mobil sang kekasih yang terdengar nyaring di depan rumahnya. setelah berpamitan, Jihoon segera berlari menghampiri sang kekasih yang terlihat tengah berdiri disamping pintu mobil yang sudah dibuka, mempersilahkannya untuk masuk. sungguh manis..

hanya agenda cium bibir sekilas seperti biasa sebelum Jihoon masuk ke dalam Range Rover hitam milik Seungcheol tersebut. lalu keduanya pun perlahan meninggalkan pekarangan rumah Jihoon menuju sebuah Hall besar dimana Acara Penghargaan diadakan.

tapi baru setengah perjalanan, Seungcheol memutar kemudinya ke arah yang tak seharusnya.

“loh sayang, kita mau kemana?”

“sebentar aja, temenin aku beli sesuatu.”

“iya tapi kemana? kamu mau beli apa?”

“nanti kamu juga tau.” ujar Seungcheol dengan senyum termanisnya.

tak butuh waktu lama, mereka sampai disebuah toko yang hampir semua lampunya sudah padam. sepertinya toko ini sudah tutup, tapi di jam segini? pikir Jihoon.

pasalnya masih terlalu awal untuk sebuah toko menutup tempat berdagangnya di jam yang masih menunjukkan pukul 7 malam lebih itu.

“sayang, toko nya tutup loh?”

“udah turun dulu kamu”

Jihoon hanya menuruti sang kekasih, mengikuti kemana kekasihnya berpijak. anehnya mereka disambut oleh beberapa orang yang berjaga didepan. Jihoon hanya terus mengikuti tanpa berpikir apa-apa.

sampai tibalah mereka didalam dan seketika satu persatu lampu menyala menampilkan beberapa wanita dengan seragam yang sama dan rapi tampak berdiri di balik rak kaca yang terdapat beberapa model cincin emas putih didalamnya. Jihoon tentu saja kaget.

“sayang, kamu ngapain ajak aku kesini?”

“i want to marry you, Ji.” ujarnya dengan senyuman paling manis yang tak pernah ia perlihatkan pada Jihoon sebelumnya.

mata Jihoon tentu saja kini disinggahi buliran-buliran bening yang siap jatuh dalam satu kedipan saja.

“are you serious?”

satu anggukan dari Seungcheol mampu membuat air matanya lolos.

ditambah lagi kini Seungcheol mengambil kedua tangannya dan dikecup hangat, “will you marry me?”

Jihoon tak perlu menjawab karena kini ia langsung menghambur memeluk kekasihnya, “Yes, baby.. totally YES! i love you…”

keduanya berpelukan dihadapan semua orang yang berada didalam sana, tentu dihadiahi tepuk tangan dari para pelayan toko.

“silakan, pilih cincin yang kamu mau, sayang…”

Seungcheol membawa Jihoon mencoba dan memilih satu persatu cincin yang ia suka. hati menghangat ketika melihat wajah sang kekasih yang tampak bahagia.

.

keduanya kini tiba di depan Hall dan kemudian turun dari mobil dengan mobil yang diserahkan pada petugas valet untuk diparkirkan.

Jihoon menggandeng lengan Seungcheol dengan mesra sebelum keduanya melangkahkan kaki pada red carpet dimana sisi kanan dan kiri dipenuhi pers dari berbagai media.

sebelum keduanya masuk ke dalam, mereka tampak berbincang dengan MC yang bertugas pada Red Carpet dan orang itu juga adalah teman Jihoon sendiri, Soonyoung.

“wah ini dia pasangan kita malam ini, buat semua wartawan boleh diambil fotonya dulu sebelum kita lanjut ke sesi bincang-bincang.”

Jihoon dan Seungcheol hanya tertawa menanggapi dan mulai berpose untuk beberapa media yang hendak mengambil gambar.

namun saat kegiatan itu selesai, Soonyoung yang memang dasarnya seperti lambe turah itu tiba-tiba mengangkat tangan Jihoon dan bertanya dengan suara yang Jihoon dan Seungcheol yakini mampu terdengar oleh semua massa yang ada disana.

“JI INI CINCIN APAAN? kalian udah tunangan????”

sontak semua awak media menyerbu dan menyorot mereka yang saat ini tengah senyum-senyum menahan malu.

kemudian Seungcheol lah yang angkat bicara, “benar.. kita akan menikah dalam waktu dekat.”

tentu hal itu membahagiakan keduanya, mulai dari ucapan selamat yang diucapkan ratusan awak media, belum teman mereka sendiri sesama para seniman.

setelah mengumumkan itu, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam Hall karena sebentar lagi acara akan segera dimulai.

saat acara tengah berlangsung, Jihoon teringat sesuatu,

“sayang..”

“hm?”

“kapan kamu mau ketemu papa mama?”

“secepatnya ya…”

“kalo aku…kapan ketemu orang tua kamu.”

Seungcheol tampak terdiam cukup lama. seperti menimbang-nimbang jawaban apa yang harus ia berikan.

“sayang?”

“uhm… soal pernikahan kita biar aku yang sampein ke orang tuaku dulu, baru ntar aku bawa kamu. gak papa kan sayang?”

Jihoon hanya tersenyum, “it’s okay.. aku percayakan semuanya sama kamu.”

Seungcheol beralih menggenggam tangan Jihoon dan diusapnya lembut. keduanya kembali fokus pada acara yang sedang berlangsung. hanya saja Jihoon benar-benar menikmati acaranya, sedangkan pikiran Seungcheol sedang melayang jauh entah kemana.

—Just, Finish

Mingyu menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. ia kalut hingga tak memperdulikan sesama pengendara yang beberapa kali terkejut ketika mobilnya melewati mereka.

namun apa yang bisa ia lakukan saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. mau tak mau ia harus berhenti.

180 detik, dan waktu itu terasa begitu lambat jika dirasakan dalam keadaan perasaannya yang tengah menahan amarah. berkali-kali ia mengumpat dan memukul stir saat pikirannya kembali berputar pada kekasihnya yang tadi datang kerumahnya bersama sang kakak, yang tak lain adalah mantannya sendiri.

Mingyu terus mengantisipasi keduanya setelah merasa ada yang aneh dari gelagat mereka berdua yang akhir-akhir ini tampak dekat. bahkan Mingyu merasa dejavu, sama seperti ketika dulu ia memerhatikan Jeonghan saat masih menjadi pacar sang kakak. bedanya adalah waktu itu ia hanya memerhatikan tanpa berbuat apa-apa, dan sekarang ia punya hak penuh atas Jeonghan.

Mingyu memukul stir untuk kesekian kalinya hingga meleset dan menekan klakson, membuat beberapa pengguna jalan terkejut. tapi ia tak perduli.

masih menunggu lampu berubah warna menjadi hijau sampai tiba-tiba sorot matanya menangkap sosok yang amat ia kenali sedang berdiri disebuah halte tak jauh dari mobilnya berhenti.

Hijau

Mingyu mengemudikan mobilnya pelan untuk melihat apa benar ia mengenal sosok yang akan ia temui itu, dan benar saja, sosok itu adalah…

“Mas Wonwoo?”

Mingyu yakin itu benar Wonwoo. ia pun menghentikan mobilnya disamping halte kecil tersebut dan membuka kaca jendela mobilnya sampai habis.

“Mas Wonwoo?” panggilnya.

orang itu menoleh ketika merasa namanya dipanggil, dan seketika wajahnya tampak kaget.

“M-Mingyu?”

“Mas Wonwoo mau kemana?”

“gue mau pulang.”

“naik sini aja Mas, aku anterin, ya?”

“gausah, Mingyu.”

“Mas… mau ya?”

Wonwoo menghela nafasnya pelan, hhhh “okay.”

.

“Mas..”

“iya, Mingyu..”

“ibu apa kabar? udah ga pernah kerumah sakit lagi tuh?”

“ibu sehat, Mingyu.”

singkat sekali.

“uhm.. Mas Wonwoo…”

Wonwoo tak menjawab, ia menoleh menunggu Mingyu berbicara.

“aku minta maaf ya, soal yang dulu.”

“it’s okay.”

“kamu maafin aku, Mas?”

Wonwoo mengangguk, “ya.. gue maafin lo, tapi gue ga akan semudah itu lupa sama rasa sakitnya. but i’m better now, you don’t have to worry.”

jleb

“o-okhay..”

anehnya Wonwoo malah terkekeh kecil setelahnya, membuat Mingyu bingung.

“ke-kenapa Mas?”

“gak papa. lucu aja liat lo kaku begitu. santai aja kali gyu. gue udah biasa aja kok. gue banyak belajar dari hubungan kita dulu, terutama cara mengikhlaskan.. karena gue yakin lo emang bukan buat gue, jadi ya gue harus ikhlas dong?”

sedih, Mingyu tak tahu mengapa hatinya sedih. tapi mungkin ini adalah ganjaran baginya.

“i-iya Mas..”

keduanya pun terdiam kembali sepanjang jalan ditemani alunan musik ballad pada radio mobil Mingyu. hari itu, pertama kalinya mereka bertemu setelah hubungan yang kandas, hari itu Wonwoo lega karena ia sudah mengikhlaskan, tapi hari itu ada hati yang patah untuk kedua kalinya.

ya, Mingyu patah hati untuk kedua kalinya dalam satu hari.

Mingyu menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. ia kalut hingga tak memperdulikan sesama pengendara yang beberapa kali terkejut ketika mobilnya melewati mereka.

namun apa yang bisa ia lakukan saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. mau tak mau ia harus berhenti.

180 detik, dan waktu itu terasa begitu lambat jika dirasakan dalam keadaan perasaannya yang tengah menahan amarah. berkali-kali ia mengumpat dan memukul stir saat pikirannya kembali berputar pada kekasihnya yang tadi datang kerumahnya bersama sang kakak, yang tak lain adalah mantannya sendiri.

Mingyu terus mengantisipasi keduanya setelah merasa ada yang aneh dari gelagat mereka berdua yang akhir-akhir ini tampak dekat. bahkan Mingyu merasa dejavu, sama seperti ketika dulu ia memerhatikan Jeonghan saat masih menjadi pacar sang kakak. bedanya adalah waktu itu ia hanya memerhatikan tanpa berbuat apa-apa, dan sekarang ia punya hak penuh atas Jeonghan.

Mingyu memukul stir untuk kesekian kalinya hingga meleset dan menekan klakson, membuat beberapa pengguna jalan terkejut. tapi ia tak perduli.

masih menunggu lampu berubah warna menjadi hijau sampai tiba-tiba sorot matanya menangkap sosok yang amat ia kenali sedang berdiri disebuah halte tak jauh dari mobilnya berhenti.

Hijau

Mingyu mengemudikan mobilnya pelan untuk melihat apa benar ia mengenal sosok yang akan ia temui itu, dan benar saja, sosok itu adalah…

“Mas Wonwoo?”

Mingyu yakin itu benar Wonwoo. ia pun menghentikan mobilnya disamping halte kecil tersebut dan membuka kaca jendela mobilnya sampai habis.

“Mas Wonwoo?” panggilnya.

orang itu menoleh ketika merasa namanya dipanggil, dan seketika wajahnya tampak kaget.

“M-Mingyu?”

“Mas Wonwoo mau kemana?”

“gue mau pulang.”

“naik sini aja Mas, aku anterin, ya?”

“gausah, Mingyu.”

“Mas… mau ya?”

Wonwoo menghela nafasnya pelan, hhhh “okay.”

.

“Mas..”

“iya, Mingyu..”

“ibu apa kabar? udah ga pernah kerumah sakit lagi tuh?”

“ibu sehat, Mingyu.”

singkat sekali.

“uhm.. Mas Wonwoo…”

Wonwoo tak menjawab, ia menoleh menunggu Mingyu berbicara.

“aku minta maaf ya, soal yang dulu.”

“it’s okay.”

“kamu maafin aku, Mas?”

Wonwoo mengangguk, “ya.. gue maafin lo, tapi gue ga akan semudah itu lupa sama rasa sakitnya. but i’m better now, you don’t have to worry.”

jleb

“o-okhay..”

anehnya Wonwoo malah terkekeh kecil setelahnya, membuat Mingyu bingung.

“ke-kenapa Mas?”

“gak papa. lucu aja liat lo kaku begitu. santai aja kali gyu. gue udah biasa aja kok. gue banyak belajar dari hubungan kita dulu, terutama cara mengikhlaskan.. karena gue yakin lo emang bukan buat gue, jadi ya gue harus ikhlas dong?”

sedih, Mingyu tak tahu mengapa hatinya sedih. tapi mungkin ini adalah ganjaran baginya.

“i-iya Mas..”

keduanya pun terdiam kembali sepanjang jalan ditemani alunan musik ballad pada radio mobil Mingyu. hari itu, pertama kalinya mereka bertemu setelah hubungan yang kandas, hari itu Wonwoo lega karena ia sudah mengikhlaskan, tapi hari itu ada hati yang patah untuk kedua kalinya.

ya, Mingyu patah hati untuk kedua kalinya dalam satu hari.