—Cause you’re my home.
Seungcheol terbangun karena suara kicauan burung di dekat jendela kamarnya. sungguh bising namun ia tak merasa terganggu, begitulah khas suasana di kota terpencil dari pada kota Jakarta yang selalu ruwet dengan kendaraan yang tak pernah berhenti berlalu-lalang.
ia perlahan bangkit dan melihat pantulan dirinya di cermin, berantakan, tapi tidurnya lumayan nyenyak karena ini adalah rumahnya, tempat ia dibesarkan.
Seungcheol pun memilih untuk mandi pagi sebelum akhirnya menyapa sang ibu yang kini tengah mengaduk-aduk masakannya di dapur.
“buk.. bapak mana?”
“sudah berangkat.”
ah Seungcheol lupa, sang ibu sedang merajuk padanya.
“bu…”
terdengar helaan nafas dari sang ibu, namun tak ada jawaban. ibu terus menyelesaikan kegiatan memasaknya, memindahkan masakannya ke piring, mengelap kompor yang sudah selesai dipakai, mencuci peralatan masak dan berakhirlah dengan selesainya semua pekerjaan rumah di waktu yang menunjukkan pukul 9 pagi itu. Seungcheol dengan sabar menunggu di meja makan, menunggu sang ibu selesai dengan kegiatannya dan untuk ia ajak bicara.
dan beruntung karena sang ibulah yang kini menghampirinya dan duduk tepat didepannya, di kursi meja makan keluarga Choi tersebut.
“kak… ibu mau bicara.”
“iya silakan ibu..”
sang ibu kembali menghela nafasnya pelan, “kakak tahu kan, pernikahan itu bukan sebuah permainan?”
Seungcheol mengangguk, “tau bu..”
sang ibu hanya terus menatap putranya tepat di mata, “kakak yakin…mau bercerai?”
Seungcheol kembali mengangguk, “yakin, bu.”
“sudah ndak sayang lagi sama Jeonghan?”
Seungcheol terdiam sesaat, harapan sang ibu itu adalah sebuah jawaban, namun pupus saat Seungcheol mengangguk untuk ketiga kalinya.
“sudah ngga ada rasa nya lagi, bu.”
mata sang ibu tampak berkaca-kaca, apa yang bisa ia katakan jika sang anak memang tak nyaman lagi dengan rumahnya, siapapun pasti akan menyarankan untuk pindah rumah daripada tetap tinggal saat kita sudah tak nyaman dengan rumah lama kita.
“baik, ibu gak akan melarang kakak. asal seperti kata bapak, kakak benar-benar memikirkannya dengan matang, dan atas persetujuan bersama…dengan Jeonghan.”
Seungcheol mengangguk sembari menampilkan senyum dengan lesung pipinya, ia bangkit dan memeluk sang ibu yang masih terduduk dikursinya.
“bu… terimakasih banyak ya, sudah berbesar hati menerima keputusan kakak. dan maaf, kalo kakak mengecewakan ibu.”
sang ibu menyeka air mata yang belum sempat keluar menyentuh pipi keriputnya itu, dan mengangguk setelahnya.
“iya, semua yang terbaik untuk kalian berdua, ibu hanya bisa mendukung.”
.
Seungcheol tampak berkeliling di daerah terpencil yang sebenarnya bisa dikatakan luas itu. tempat tinggalnya bukanlah desa tapi bukan juga kota besar.
setelah memarkirkan mobilnya, ia menapaki trotoar didepan ruko-ruko yang sejajar rapi, mencari supermarket karena ada yang ingin ia beli. tak lupa, kacamata hitam terpasang di kedua matanya, menambah kesan orang kota diantara sederhananya orang-orang di daerah itu.
“CHEOL!”
satu suara mengagetkan sekaligus membuatnya kesal, siapa yang meneriakinya selantang itu. belum sempat sebuah umpatan ia keluarkan karena kini ia malah tersenyum lebar ketika mengarahkan pandang ke asal suara,
Mingyu, sahabat kentalnya sedari kecil-selain Jeonghan.
“GYU— astaga!”
Seungcheol menghampiri sahabatnya dan kini mereka berpelukan erat dan menepuk punggung satu sama lain sekuat yang mereka bisa. sakit? tentu saja. tapi tak berlaku karena dua sahabat ini terlalu rindu.
“gilaaa keren banget nih orang kotaaa”
Seungcheol meninju kuat perut sahabatnya itu, “gua hampir marah loh tadi, gua kira siapa manggil manggil gua kaya begitu”
Mingyu tertawa, “lah elu juga gua manggil dari tadi ga denger, ya gua teriakin aja lah”
lagi, Seungcheol menoyor kepala milik si bongsor.
“lu kemana aja ga balik-balik Cheol, Han nungguin lu kaya nungguin bang toyib tau ga, parah lo”
Seungcheol hanya tersenyum tipis, tidak tertarik dengan obrolan yang sedang sahabatnya coba mulakan.
“Gyu daerah ini udah banyak berubahnya ya, gua ampe ga hafal lagi dah”
mengalihkan pembicaraan
sayangnya Mingyu terlalu mengenal sahabatnya itu, bahkan setelah tak bertemu 5 tahun sekalipun.
“kenapa lu alihin topik gua?”
Seungcheol terdiam.
“ada masalah lu sama Jeonghan?”
Seungcheol tak menjawab, hanya tersenyum, membuat Mingyu mengangguk paham.
“oke- gua ga akan nanya sampe lu siap cerita, bro.”
“thanks, Gyu..”
“gua cabut dah, Seungkwan nunggu dirumah. tar malem lu ke tongkrongan kek, nih anak-anak pasti seneng kalo tau lu balik anjir.”
“lah lu sama Seungkwan…? bukannya dia ama si bule?”
“mana ada, gua rebut lah dengan kegantengan gua yang dikenal diseluruh kota ini, mana mungkin Seungkwan nolak gua.”
“si anjir… 5 tahun lalu perasaan lu masih sama hao deh?”
“kaga, bocahnya udah terbang ke china ama lakinya.”
“lah anjir sedboi”
kemudian keduanya menertawai obrolan mereka sendiri dengan cukup keras, entahlah, Seungcheol seperti bernostalgia kala ia berbincang dengan Mingyu. kangen juga…
“gua tunggu pokonya lu kudu ke tongkrongan tar malem”
“iyaiyaaa, tar gua kesana dah”
dengan itu berakhir pula obrolan antar kedua sahabat itu, kini keduanya memilih berbalik ke tujuan asal, dan tanpa Seungcheol tahu, Mingyu sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi antara Seungcheol dan Jeonghan saat ini.
.
sebelum Seungcheol menemui Mingyu, ia sempat kembali mendatangi rumahnya bersama sang suami. namun berkali-kali ia memanggil, tak ada satupun sahutan dari dalam sana. Seungcheol pun memutuskan untuk langsung saja menemui sahabatnya yang pasti menyiapkan pesta kecil-kecilan karena dirinya yang kembali ke kampung halaman.
dan benar saja, saat Seungcheol sampai di sebuah bar kecil yang sering mereka jadikan tempat tongkrongan, disana Seungcheol disambut oleh Mingyu yang pertama, kemudian Seokmin, Chan dan juga Joshua. mereka adalah teman-teman masa kecil Seungcheol, teman-teman sepermainan yang tumbuh bersama hingga dewasa.
satu persatu dari mereka memberikan pelukan hangat menyambut sahabat yang telah lama hilang dari pandangan. mereka berbincang-bincang cukup lama dan tak jarang mengeluarkan tawa yang sudah pasti membuat sakit kepala siapapun yang mendengarnya.
“…iya. ga percayaan banget lu pada. si Mingyu ampe datengin itu hari lamaran si bule ama Seungkwan demi rebut si Seungkwan, menurut lo aja dah. si bule mukanya merah banget kek pengen makan orang, tapi mana bisa dia nonjok si Mingyu didepan orang tuanya Seungkwan.” seru Chan yang masih tak habis pikir mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu.
“lu giliran nyeritain orang aja JAGO lu! tuh si yeri udah lu lamar belom? keburu diambil orang baru tau rasa lu.”
kemudian Mingyu dan Chan hanya saling menampar, memukul dan jambak-jambakan membuat yang lain tertawa melihat tingkah keduanya. hati Seungcheol menghangat, rasanya masih seperti dulu, sahabatnya masihlah sama. rasanya Seungcheol benar-benar kembali ke masa mudanya saat setiap hari menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya itu.
dan lagi… sebelum ia harus mengubur dalam-dalam kebiasaannya itu, dulu.
tiba-tiba pintu bar kecil itu tampak digeser menampilkan dua orang dengan satunya menggendong bayi perlahan masuk ke dalam sana. perhatian para pria dewasa tadi teralihkan kearah sana karena bunyi pintu yang lumayan besar hingga mengalihkan atensi mereka semua.
tentu saja satu orang diantara pria dewasa tadi dan satu orang lainnya yang baru menginjakkan kakinya disana terlihat menegang. pasalnya pertengkaran hebat diantara dua orang itu kemarin masih belum menemukan titik temu. pandangan mata tak mereka alihkan, yang satu memiliki tatapan lega sedangkan yang satu menatap penuh amarah.
“Jeonghan..” gumam Seungcheol yang sedari tadi mengunci pandangnya ke arah Jeonghan, pria yang sedang menggendong bayi yang baru saja menapaki kakinya di tempat yang biasa juga menjadi tempat tongkrongannya.
Jeonghan membuang pandangnya, mengalihkannya pada Joshua yang kini bangkit menghampirinya.
“Yoona rewel Han?”
Jeonghan yang masih gugup hanya menatap Joshua tanpa sepatah kata.
“it’s okay, kita pulang aja, kamu kerumahku. biar Seok nanti balik sama yang lain. kamu ga mau ketemu Cheol dulu kan?” bisik Joshua yang paham akan situasi saat ini.
jujur saja, mereka semua tahu apa yang sedang dialami keluarga kecil Seungcheol dan Jeonghan, hanya saja tak ada yang bertanya karena merasa itu bukan hal yang sepatutnya dipertanyakan. toh baik Seungcheol maupun Jeonghan akan membagikannya sendiri jika dirasa harus membagikannya. bukan hak mereka mencampuri urusan rumah tangga orang lain, sekalipun keduanya adalah sahabat mereka sendiri.
saat Jeonghan mengangguk dan berbalik hendak pergi, Seungcheol menghentikannya dengan memanggil nama Jeonghan cukup keras, membuat Jeonghan berbalik dengan wajah menyiratkan ekspresi tak suka. Seungcheol pun bangkit dan menghampirinya.
“urusan kita belum selesai, aku perlu bicara sama kamu, Jeonghan.”
Jeonghan yang tadinya sempat menunduk karena tak ingin melihat wajah lawan bicaranya kini mengangkat pandangannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. yang hanya bisa Seungcheol lihat adalah kemarahan dan kekecewaan yang terlihat dari cara Jeonghan menatapnya.
Jeonghan menatap Joshua seakan meminta pertolongan, tapi Joshua hanya menganggukkan kepalanya dengan maksud; pergilah, bicarakan semuanya sampai tuntas.. dan Jeonghan menelan ludah untuk itu semua. ia kembali menatap sang suami dan segera keluar dari sana sebagai jawaban,
“sana, bicarain baik-baik.. semoga ketemu jalan keluarnya.” ujar Joshua pada Seungcheol, yang dihadiahi anggukan terimakasih dari Seungcheol. setelahnya ia meninggalkan Joshua disana bersama ketiga orang lainnya yang tampak hening melihat kedua pasangan tadi.
.
kini Seungcheol dan Jeonghan berada di mobil milik Seungcheol, masih dengan Jeonghan yang hanya diam, tak mencoba memulai percakapan dengan sang suami.
“Jeonghan…”
Seungcheol mengambil tangan Jeonghan untuk digenggamnya.
“Jeongie…”
Jeonghan yang menunduk pun perlahan mengangkat pandangannya kala mendengar suara serak itu memanggil namanya dengan panggilan sayang yang mereka pernah sepakati dulu, Jeonghan mengangkat pandangannya mempertemukan manik cokelat miliknya dengan manik hitam legam milik sang suami. tidak sampai 10 detik Jeonghan kembali membuang pandangannya, ia tak akan sanggup menatap suaminya yang mungkin sebentar lagi bukan lagi menjadi suaminya.
“Jeongie… dalam hidup ini, gak semuanya berjalan sesuai dengan yang kita mau, iya kan?”
Jeonghan tak menjawab.
“aku minta maaf…kalau keputusanku yang tiba-tiba malah menyakiti hati kamu. but i can’t do this anymore..?!”
“k-kenapa kak…?” akhirnya suara lembut itu kembali menyapa gendang telinga Seungcheol.
“just… i can’t do this anymore.”
“karena kakak akan menikah dengan pacar kakak yang seorang komposer terkenal itu?”
Deg
“Jeongie—
“aku tau kak… aku tau semuanya. aku ga pernah hubungin kamu ataupun kita ga pernah berhubungan bukan berarti aku ga tau apa-apa tentang kakak.”
nafas Seungcheol tercekat, mengapa hatinya sakit mendengar satu persatu kalimat yang Jeonghan lontarkan.
“aku hanya berusaha menutup mata, percaya suatu saat kakak akan pulang dan tinggal lagi disini sama aku, atau kakak bawa aku ke Jakarta buat nemenin kakak. tapi… semua itu ga mungkin lagi ya kak?”
Seungcheol hanya menatap si manis yang duduk dikursi penumpang tepat disebelahnya tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun. rasanya ada yang tersangkut di tenggorokannya, rasanya nafasnya tercekat, suaranya seakan hilang.
“aku bisa apa kak…kalau kakak udah ga bisa lagi sama aku? aku gabisa apa apa kan kak? aku harus lepasin kakak kan? seperti yang kakak mau?”
Jeonghan mengangkat pandangannya bersamaan dengan lontaran pertanyaan bertubi-tubi dengan rasa sakit yang ia lepaskan lewat pertanyaan-pertanyaan itu, kali ini ia beranikan menatap mata sang lawan bicara walaupun mata itu sudah amat basah dengan air yang menggenang penuh, bahkan pandangannya pun memburam.
Seungcheol merasakan matanya ikut perih, tapi ia tak tahu karena apa, yang ia tahu, inilah kesempatannya untuk menyelesaikan masalahnya, karena setelahnya ia menjawab seluruh pertanyaan Jeonghan hanya dengan kata… “maaf.”
sontak satu kata itu mampu membuat pipi Jeonghan basah seketika. Jeonghan tak menahannya, ia biarkan harga dirinya jatuh didepan sang lawan bicara dengan menangis sejadi-jadinya. Seungcheol hanya memejamkan matanya menahan diri agar tak lemah dengan isakan demi isakan yang ia dengar itu. sungguh ia tak berbohong bahwa tangisan Jeonghan masih menjadi hal yang paling ia benci, masih menjadi hal yang melemahkannya, dan ia tak boleh lemah untuk saat ini.
“please.. jangan nangis kaya gini Jeonghan… kamu tau aku ga bisa denger itu.”
Jeonghan yang tengah sesegukan itu menutup mulutnya dengan lengan kirinya, agar suara tangisnya teredam. namun pemandangan itu justru lebih menyakitkan hati Seungcheol.
“Jeonghan please? why you doing this to me? kamu tahu aku ga bisa liat kamu nangis kaya gini!”
“terus aku harus gimana kak? kamu bisa dengan mudah mau ninggalin aku, disaat aku selalu percaya kalo kamu ga bakal begitu.. dan sekarang, wajar aku ngeluarin semua rasa sakit aku, aku mau lepas kamu lho kak? kamu ga akan terikat sama aku lagi! apa ga boleh aku nangis? apa aku harus tetep harus pura-pura kalau hatiku baik-baik saja? iya?”
hati Seungcheol mencelos mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Jeonghan, ia merasa menjadi laki-laki paling jahat di dunia ini.
dalam tangisnya, Jeonghan mengeluarkan satu buah kertas yang terlipat kecil dari dalam tas nya. satu buah kertas yang Seungcheol inginkan Jeonghan untuk menandatanganinya beberapa hari lalu. mau bagaimana pun bentuknya, rapi ataupun terlipat, yang penting tanda tangan itu sudah terbubuhi diatas kertas bermaterai itu. Jeonghan membawa kertas itu tanpa amplop pembungkusnya, kini ia membuka lipatannya dan menyerahkannya ke hadapan Seungcheol.
“seperti yang kamu mau kak, aku sudah tanda tangan.”
Seungcheol menatap kertas itu dalam diam, menatap Jeonghan disampingnya, dan kembali menatap kertas itu secara bergantian.
“ambil, kak. ini kan yang kakak mau?”
Seungcheol mengambil kertas pemberian Jeonghan bersama seringai sedih dari sang pemberi.
“Jeonghan—
“urusan kita selesai kan kak? selesai yang benar-benar selesai?”
Seungcheol mengangguk kecil masih menatap Jeonghan, bersama air mata yang jatuh untuk kesekian kalinya dari mata indah milik si manis yang duduk dikursi penumpang itu.
“pada akhirnya kita memang harus berpisah ya kak, mau 5 tahun yang lalu atau sekarang sekalipun.” Jeonghan tertawa lirih, “makasih kak…dulu ada saat aku butuh dukungan, saat aku sendiri dan hanya punya kakak, walaupun sampai sekarang aku juga hanya punya kamu, kak.”
lagi, Seungcheol merasakan hatinya bagai di iris.
“aku pamit, kak. titip salam buat bapak sama ibu ya, nanti aku kerumah kalo kakak udah balik ke Jakarta. untuk sekarang aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu, gak papa kan kak?”
Seungcheol hanya bisa mengangguk dengan jiwa yang sebenarnya tak tahu kemana, ia mengangguk tanpa tahu apa yang sedang ia setujui, yang ia tahu, ia kehabisan kata dan merasa ingin lenyap dari dunia saat itu juga.
“bahagia ya kak… aku rasa memang kakak pantas untuk bahagia, mau itu dengan siapapun.” si manis tersenyum sebelum akhirnya pamit dan meninggalkan Seungcheol yang hanya terdiam sembari menatap punggung yang kian menjauh dan perlahan hilang dari pandangannya.
one step closer..