—Cause you’re my home.
dua hari.
sudah dua hari sejak Seungcheol mendapatkan apa yang ia mau, yaitu Jeonghan menandatangani surat perceraian mereka. tapi mengapa dirinya malah tak tenang? harusnya ia lega bukan?
bayangan wajah manis yang basah karena air mata itu, suara parau yang melepaskan diri itu, dan kata demi kata yang ia keluarkan sebelum akhirnya benar-benar pamit dari hidup Seungcheol membuat dirinya tak pernah berhenti memikirkan Jeonghan sejak hari itu.
apa yang salah dengan Seungcheol?
Seungcheol memutuskan untuk berjalan-jalan di malam hari yang sudah cukup larut seharusnya. menurutnya; udara malam hari cukup baik untuk hati yang gelisah. ia hanya berjalan kaki, entah kemanapun kakinya melangkah.
Seungcheol pun sampai disebuah taman yang letaknya tak jauh dari rumahnya, senyumnya merekah karena kini selekebat bayangan masa lalu satu-persatu masuk dalam pikirannya. dan tentu kenangan tersebut hanya ada Jeonghan didalamnya.
langkah demi langkah membuat Seungcheol sampai pada rumah pohon yang terletak diujung taman. rumah pohon hasil karyanya dahulu, dan tempat ia sering menghabiskan waktu bersama Jeonghan.
“pokoknya suatu saat aku ingin menikahi kamu.” ujar Seungcheol kecil,
“kenapa aku?” sahut Jeonghan kecil dengan polosnya,
“karena aku pengen nikah sama cinta pertamaku”
Jeonghan menunjuk dirinya sendiri, “aku, kak? cinta pertama kakak?”
anggukan mantap ditampilkan sebagai jawaban, “tentu saja.”
Seungcheol ingat, Jeonghan itu cinta pertamanya. ia tersenyum kala kembali mengingat percakapannya bersama yang dulunya adalah kesayangannya. percakapan yang menurutnya manis.
pada akhirnya pun mereka juga menikah seperti apa yang pernah Seungcheol ucapkan, namun bukan pernikahan seperti yang diinginkan orang pada umumnya.
bulu kuduknya merinding saat tiba-tiba Seungcheol merasakan gendang telinganya menyapa suara sesegukan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. malam sudah terlalu larut, siapa yang menangis di taman jam segini?
sudah siap ia akan berlari karena takut, namun sebelum sempat melakukan itu, ia menangkap sosok yang bahunya bergetar kini berada di dalam rumah pohon itu. bukan, itu bukan hantu. Seungcheol terlalu mengenali perawakan orang itu walau hanya ujung rambutnya sekalipun.
ya, suaminya, Jeonghan.
atau lebih tepatnya sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya.
“Jeonghan…?” gumamnya pelan yang langsung membuat Jeonghan menghentikan isakannya.
“Jeongie…?”
“kakak? kakak ngapain disini?” tentu saja Jeonghan kaget.
Seungcheol yang kembali mendengar suara parau itu kini naik karena ingin memastikan keadaan si manis.
“kakak.. jangan naik”
tentu saja Seungcheol tak menghiraukan itu, karena ia harus memastikan keadaan Jeonghan saat ini. Jeonghan yang dapat merasakan lantai kayu rumah pohon itu berdecit karena ditapaki oleh manusia lainnya pun hanya mendengus kecil.
“are you okay?”
pertanyaan macam apa itu. apakah Jeonghan kelihatan harus oke dengan keadaan mereka sekarang?
terpaksa Jeonghan harus menghentikan tangis berjam-jam nya hanya agar tensi diantara keduanya tak terasa menegangkan. ia menghapus air mata yang masih bertengger di kedua pipi putihnya, tapi mata bengkak dan wajah sembabnya tak dapat membohongi Seungcheol, dan lagi, pria ini terlalu mengenal Jeonghan luar dalam.
“kakak inget ga, rumah pohon ini kan hasil kerja keras kakak dan Mingyu dulu.”
lagi, mengalihkan pembicaraan
Seungcheol mengangguk dengan senyum tipisnya, “inget. ga mungkin aku ga inget.”
keduanya kini terdiam ditemani suara jangkrik malam hari, sungguh hari sudah semakin larut tapi keduanya bahkan tak peduli dengan hal itu.
“kakak…”
“hm?”
Seungcheol menoleh untuk menatap si manis yang sedari tadi hanya memandang lurus ke depan. tapi kini kepala itu menunduk, menatap jalan setapak yang ada dibawah sana.
“aku minta maaf…”
Seungcheol mengerutkan alisnya, minta maaf? “minta maaf kenapa?”
Jeonghan tersenyum masih memerhatikan jalan setapak dibawahnya, “maaf…karena aku… kakak harus terjebak disini dan merelakan waktu kakak terbuang sia-sia hanya karena kejadian itu.”
Seungcheol tak menjawab. dirinya tengah menahan amarah karena ia tak suka mendengarnya.
“aku jadi inget waktu itu kakak harus merelakan semuanya demi kita, diumur yang terbilang cukup muda, yang harusnya kakak menekuni cita-cita kakak seperti anak-anak lainnya malah harus dihentikan karena bayi di kandunganku.”
kenapa? kenapa Jeonghan harus membahas hal itu lagi. bagaimanapun itu adalah kesalahan mereka berdua, bukan hanya dirinya.
“Jeongie.. kakak ga suka kamu ngomong begitu. kita udah pernah bahas ini kan?”
si manis kembali tersenyum, namun kali ini raut wajahnya amat sangat menyiratkan kesedihan.
“mungkin kakak ga bakal ninggalin aku kalo anak itu lahir dan terus terjebak dengan aku disini selamanya, makanya tuhan ambil anak itu.”
“Jeonghan!”
air mata kembali jatuh membasahi pipi putih yang paling muda namun dengan cepat ia menyekanya. dan Seungcheol merasakan matanya memanas, hatinya terenyuh. tanpa sadar kini tangannya mengepal hingga memutih. Jeonghan tahu, Seungcheol tak akan mau mengingat hal itu lagi, rasanya ia menyesal karena telah membahas hal yang tak pernah mau diungkit oleh siapapun terlebih mereka sendiri yang mengalaminya.
Jeonghan menggenggam kepalan tangan Seungcheol itu dan dielus dengan sabar.
“maaf kakak… aku ga bermaksud buat kakak marah dengan ingat kejadian itu lagi.”
“i’m totally okay, percayalah..
bagaimana pun, aku senang sekarang kakak bisa raih cita-cita kakak yang sempet ketunda dulu.. aku bangga sama kakak. kakak hebat.”
kini si manis menoleh untuk kembali mempertemukan manik cokelatnya dengan manik hitam legam milik si kakak, diikuti senyum tipis yang menyiratkan tak ada kebohongan dibalik kata-katanya.
entah apa yang Seungcheol pikirkan saat ini hingga dalam satu hentak kuat ia menarik tangan Jeonghan yang masih dalam genggamannya dan menarik tubuh kecil itu kian mendekat hingga kini bibirnya tengah membungkam bibir yang lebih muda. Jeonghan kembali meneteskan air matanya dalam ciuman keduanya, ia tak memberontak. mungkin perasaan ini yang sudah lama ia rindukan walaupun saat ini harus ia rasakan ketika keduanya memutuskan setuju untuk berpisah.
Seungcheol semakin kehilangan akal karena kini kepalanya ia miringkan untuk memperdalam ciuman keduanya, melumat bibir Jeonghan dengan lembut seakan ia tak ingin tubuh yang rapuh itu sendirian. mereka terbawa suasana.
ciumannya pun semakin lama semakin intens, Seungcheol lupa bahwa bibir ini adalah favoritnya sejak dulu karena kini ia seperti lupa diri dan terus menyesap bibir Jeonghan sedikit lebih kasar dari sebelumnya, membuat Jeonghan mendorong tubuhnya karena merasa kekurangan udara.
“-kak, stop. kita ga boleh kaya gini.”
Seungcheol yang tak siap kehilangan bibir itu hanya memandang Jeonghan dengan sirat mata kecewa,
“Jeongie…”
tapi Jeonghan tak peduli, lebih tepatnya ia tak mau menatap wajah Seungcheol apalagi pusing karenanya. dengan cepat Jeonghan bangkit dan pergi meninggalkan Seungcheol disana sendiri, masih seperti kemarin, hanya diam memandang punggung si manis yang perlahan hilang dari pandangannya.