jeongcheolpride

—Ends in Orange

Jisoo baru saja landing dari penerbangannya dari LA. rasanya sudah lama sekali tak menginjakkan kaki di Indonesia, banyak kenangan manis yang terputar dikepalanya secara spontan begitu ia sampai dibandara ibukota tersebut.

namun kenangan manis itu saat ini terasa hambar, hatinya hampa seperti menyadari hanya dirinya saja yang menikmati kenangan itu, sendirian.

“Babe…?”

satu suara yang membuat senyum Jisoo terukir, namun Jisoo yakin jika saat ini ia melihat rupanya di cermin, pasti senyumnya lebih terlihat seperti senyuman paling menyedihkan.

Jisoo berbalik berusaha menemukan asal suara, dan benar, itu Seungcheol tunangannya, orang yang sangat ia sayangi tengah tersenyum lebar dan merentangkan tangannya.

Seungcheol memeluk Jisoo erat tanpa menyadari bahwa Jisoo hanya meremat seragam Seungcheol pada bagian pinggang tanpa membalas pelukannya.

“Mas kangeeeen banget sama kamu.” ujarnya sembari mengusap-usap rambut Jisoo dengan sayang.

“me too.” jawab Jisoo singkat, dengan senyum yang ia paksakan.

“kita cari tempat makan yuk, laper gak?”

Jisoo hanya mengangguk kecil.

“yaudah, ayok.” ajak Seungcheol dengan tangan kirinya menggenggam tangan Jisoo erat.

.

kini keduanya duduk di waiting room tempat penumpang menunggu sembari pesawat disiapkan dan ada beberapa penumpang transit, juga ada mereka berdua yang duduk bersebelahan. pemandangan langit sore hari menuju senja yang terpampang jelas dibalik dinding kaca ruangan tersebut membuat keduanya larut, memandang fenomena indah itu dengan pandangan kosong, dan berbagai pikiran yang singgah dan pergi.

pesawat yang akan Seungcheol kemudikan baru akan berangkat 3 jam dari sekarang hingga cukuplah bagi keduanya melepas rindu yang sudah lama tertahan.

“Babe, gimana LA?”

“uhm.. good.”

sungguh perbincangan itu mulai canggung sedari awal mereka bertemu tadi. mereka berdua mencoba untuk membuat suasana tetap seperti bagaimana biasanya, tapi tetap saja hawa dingin mulai menyelimuti keduanya.

“Mas…”

“hm?” Seungcheol menggenggam tangan Jisoo kemudian ia mainkan.

“how’s Jakarta?”

Seungcheol tersenyum, dalam hatinya ia senang karena Jisoo mulai menanyainya sesuatu daripada hanya diam seperti tadi.

“kaya biasa juga, babe..”

Jisoo mengangguk, “ayah, bunda, keadaannya gimana?”

“bunda baik kok. ayah juga udah mulai baikan, sejak move ke Jakarta dan di tangani Jeonghan terus, keadaan ayah makin membaik, seneng dia sama dokternya—

ah.. Jeonghan ya..

sial. Seungcheol baru sadar ia malah membawa topik Jeonghan, dan Jisoo hanya mengangguk sembari tersenyum kecil namun pedih.

“Mas Cheol…”

Seungcheol hanya menunduk bersalah, masih memainkan jemari Jisoo pada genggamannya.

“Mas Seungcheol…”

“hm?”

“Mas kesayangannya Jisoo…”

Seungcheol menyerah dan beralih menatap Jisoo karena terus memanggilnya.

“lepasin aku ya, Mas Cheol.”

genggaman itu melonggar bersama raut wajah Seungcheol yang tak suka dengan kalimat yang barusan Jisoo lontarkan.

“Babe… aku harus bilang berapa kali lagi—

“no, Mas. aku ga yakin kita masih bisa lanjutin ini.”

“Mas ga mau.”

Seungcheol bersiap hendak bangkit namun tangan Jisoo menahan pergelangan tangannya.

“Mas, duduk dulu. aku masih kangen sama kamu.” ucapnya dengan air mata yang berlinang.

Seungcheol menjadi lemah dan kembali mendudukkan dirinya.

“i miss you, so bad. sooooo bad, Mas Cheol.”

bersama air mata yang jatuh, Seungcheol menarik tubuh kekasihnya untuk ia rengkuh. ia tak pernah sanggup melihat Jisoo menangis.

“Mas Cheol, aku tau hati Mas Cheol buat siapa, aku tau Mas Cheol bahagia denganku, tapi kebahagiaan Mas sesungguhnya bukan aku, iyakan?”

“shhh.. kamu diem.” hati Seungcheol mencelos mendengar kata demi kata yang terlontar bersama isak tangis kekasihnya.

“aku mulai sadar setelah aku tahu semuanya. mulai dari gelagat kalian berdua, that bracelet, tatapan mata kalian dan hati kamu yang sebenarnya dari dulu bukan buat aku Mas. aku sadar akan itu semua, tapi aku selalu menyangkalnya.”

Seungcheol merasakan perasaan bersalah yang amat sangat kala ia menyadari semua yang dikatakan Jisoo tak salah. ia merutuki dirinya sendiri karena telah menyakiti hati orang yang selama ini selalu ada untuknya, yang menyayanginya dengan tulus.

“Mas Cheol…

aku mohon, lepasin aku ya Mas.”

Seungcheol melepaskan pelukan keduanya dan menggeleng.

“Please…” mohon Jisoo. “kamu cinta Jeonghan, kan?”

Seungcheol tak bisa menjawab pertanyaan itu, dan Jisoo menganggap itu sebagai jawaban.

“you still loves him, Mas.

dari dulu, sekarang, maupun nanti, you still loves him.

kejar kebahagiaan kamu, i’m fine, asal Mas bahagia, ya?”

pandangan mata Seungcheol memburam, air mata turut menetes begitu saja.

“hey…why you crying?” ucap Jisoo dengan tangan mengusap lembut air mata pada pipi Seungcheol.

“maaf.” hanya itu. hanya itu yang mampu Seungcheol ucapkan.

mungkin selama ini ia salah mengartikan perasaannya. Seungcheol menyayangi Jisoo, amat sangat, but not in romantic way. perasaan sayangnya terasa sama dengan bagaimana ia menyayangi adiknya, Mingyu. tapi ia menyangkal dan mencoba membuka hatinya, karena Jisoo benar-benar membantunya bangkit dari masa terpuruknya waktu itu.

so, can it be called love?

“it’s okay. cinta kan ga harus memiliki, lagipula disini hanya aku yang mencintai Mas kan?”

“Babe—

“don’t call me babe anymore, hm?”

perasaan bersalah Seungcheol membuatnya tak dapat mengeluarkan kata apapun sebagai balasan.

“kita selesai ya, Mas?

kejar kebahagiaan Mas ya, raih apa yang seharusnya menjadi milik Mas…”

air mata Seungcheol jatuh lagi, dan Jisoo hanya mengusapnya lagi dengan lembut.

“bahagia ya Mas? Janji sama aku kamu harus bahagia ya?”

Seungcheol pun mengangguk sebagai jawaban, mereka menangis bersama karena setelah ini…

“Jisoo… Mas lepasin Jisoo. tapi Jisoo juga harus bahagia, bisa?”

bagaimana mungkin? untuk saat ini. tapi Jisoo yakin, kebahagiaan untuknya telah diatur oleh tuhan walaupun ia tak tahu kapan ia akan mendapatkannya. dengan itu Jisoo menjawab;

“bisa. kita pasti bisa bahagia dengan apa yang telah tuhan gariskan, Mas.”

“boleh Mas peluk Jisoo sekali lagi?”

“sure… pelukan perpisahan?”

Seungcheol mengangguk, dan setelahnya mereka kembali berpelukan, cukup lama, sekaligus mengobati rasa rindu yang memang benar adanya.

bersama matahari yang bersiap untuk beristirahat dan bersama langit jingga yang perlahan merubah warnanya menjadi gelap, Seungcheol dan Jisoo saling melepaskan diri satu sama lain.

karena mereka yakin kebahagiaan yang sesungguhnya telah menanti.

Jisoo POV

aku terduduk lemas di sofa berwarna maroon yang terletak di sudut kamarku. bagaimana bisa? bagaimana bisa aku terlihat bodoh dan tak menyadari apapun yang ada disekitarku selama ini. bagaimana bisa aku tak pernah curiga dengan tatapan lembut yang selalu dipancarkan tunanganku pada sahabatku? yang bahkan tak pernah ia berikan padaku. aku terlalu menaruh percaya yang amat besar sehingga melewatkan banyak hal.

tadi saat aku mendapat notif pesan dari Mingyu—adik dari tunanganku dan pacar dari sahabatku—yang ingin mengatakan sesuatu, entah mengapa perasaanku tiba-tiba menjadi tak tenang, dan benar saja, duniaku seakan diterpa angin kencang yang membuatku tak kuat menopang badanku sendiri kala satu persatu fakta yang dilontarkan seseorang diseberang telfon itu memenuhi indera pendengaranku, seakan sesuatu bagai menyeruak masuk memenuhi dadaku seperti rasanya aku tak dapat bernafas;

“Jeonghan pacar gue itu mantannya Mas Cheol, apa lo tau?”

yang pertama.

“lo itu dibohongin sama mereka, apa lo sadar?”

kedua.

“lo itu terlalu polos sampe-sampe bisa dimainin sama mereka! bahkan mereka sekarang manfaatin situasi dan semakin deket, lagi, lo tau itu ga? enggak kan?”

cukup!

“aku ga ngerti maksud kamu, Mingyu?!”

Mingyu tertawa sinis, “kita ini korban, kita ini cuma pelarian mereka! dan gue gak mau sakit sendirian, lo harus tau ini sebelum lo benar-benar ngebiarin mereka ke tahap yang lebih parah dari sekedar ‘teman dekat’ hahah-bullshit! mana ada istilah temenan sama mantan, adanya mereka main dibelakang dan untungnya gue nangkep hal itu lebih cepat, ga kaya lo—”

“CUKUP MINGYU! cukup!”

Mingyu menghela nafasnya kasar, “sorry, soo. gue cuma ga tega sama lo.”

“tapi kamu tega, Mingyu.. Mas Cheol itu kakak kamu—”

“Hah! dia emang kakak gue, tapi berkali-kali dia ngecewain gue!

lagian kenapa juga lo masih mikirin dia yang jelas-jelas main dibelakang lo?”

gak. Mas Cheol ga mungkin kaya gitu.

“lupain soal mereka yang sekarang, mereka yang dulu, lo tau ga? Mas Cheol cerita ga?”

aku terdiam.

“enggak kan?”

iya. aku bahkan masih belum dapat mempercayai fakta tersebut saking terkejutnya.

“soo, tegasin hubungan lo, tunangan lo itu maunya melangkah kedepan yaitu ke lo, atau dia balik badan dan milih jeonghan.”

jeonghan.. jadi jeonghan ya…orang itu? mengapa rasanya sesak saat mengetahui fakta bahwa seseorang yang pernah membuat tunanganku terpuruk adalah sahabatku sendiri, yang aku yakini bahwa tunanganku masih mencintai masa lalunya.

apalagi sebenarnya mereka sudah bertemu lagi sejak aku mencoba mengenalkan mereka, sudah dalam waktu yang lama, dan tanpa sepengetahuanku.

air mataku jatuh tanpa suara, aku berusaha untuk tak memperdengarkan isakanku pada seseorang diseberang telfon.

“soo, are you okay?”

“menurut kamu?”

Mingyu kembali menghela nafasnya lebih pelan, kini suaranya melembut, “take your time. yang penting lo udah tau.”

“i need some time alone, can you hang up the phone?” ucapku menahan getaran pada suaraku.

“sure…and sorry.”

aku hanya diam tak menjawab sebelum beberapa detik setelahnya telfon itu terputus.

aku yang tengah berdiri merasakan lututku melemah, dengan susah payah aku berlari menuju kamar takut daddy akan bertanya kalau ia melihat raut kacau diwajahku. saat pintu kamar tertutup, tubuhku merosot dengan air mata yang tak akan dapat diajak kerja sama lagi, aku memegang dadaku dan menangis memeluk lututku, berusaha meredam suaranya agar tak satupun orang mengetahui betapa kacaunya hatiku.

aku bangkit dan meraih ponselku, memerhatikan homescreen ponselku yang menampilkan fotoku bersama tunanganku, kami tersenyum bersama dalam foto itu membuatku ikut tersenyum setiap melihatnya. namun senyum kali ini terasa begitu pahit.

apa kamu bahagia sama aku Mas? ujarku dalam hati, masih dengan air mata yang mengalir.

aku membuka aplikasi berlogo burung berwarna biru, meng-upload sebuah gambar dengan quotes yang menggambarkan perasaanku saat ini. dalam hati masih tak menyangka dengan fakta yang baru kuketahui, bahkan aku mengetahuinya dari mulut orang lain.

kring

satu buah notifikasi pesan muncul dari seseorang yang pernah menjadi masa laluku.

Hansol.

“are u okay?”

satu buah pertanyaan saja dan itu mampu membuat hatiku terasa diremas.

“no, i’m not.” jawabku.

namun dialah Hansol, orang yang begitu mengenalku luar dalam. seorang teman yang sudah mengenalku sejak kecil dan terlalu tahu tentangku bahkan gelagat kecil sekalipun.

“wanna meet? u can tell me anything.”

aku tak bisa memikirkan apa-apa selain aku membutuhkan tempat untuk meluapkan segala kesedihanku.

“yes, please.. i need u, it’s hurt.”

.

saat ini aku tengah duduk bersamanya didalam mobil miliknya yang terparkir di basement sebuah mall. tadi setelah aku membalas pesannya, tak butuh waktu lama untuk dia datang kerumahku, meminta izin pada daddy dan membawaku pergi. beruntung daddy tak tahu apa yang sedang kualami.

kami berdua hanya diam, ia menungguku memulai pembicaraan dan aku masih mengurungkannya. aku hanya terus menunduk tanpa suara.

20 menit.

sudah 20 menit ia masih menungguku dengan sabar. tak ada kata yang keluar dari mulutku, begitu pula darinya. namun satu sentuhannya pada bahuku yang kemudian mengusapnya pelan membuat air dipelupuk mataku kembali bersinggah. dalam tundukku, bahuku bergetar hebat dan dengan cepat ia menarikku dalam rengkuhannya. aku membalas pelukan itu dengan erat diikuti pelukannya yang juga kian mengerat. tangisku pecah kuluapkan bersama rasa sakit yang tak tertahan, berharap setelah ini aku akan lega.

.

“but he already proposed to you, what are you worried about?”

aku hanya diam.

“soo?”

“karena…aku tau hatinya masih tertinggal pada masa lalunya”

Hansol mengernyitkan dahinya.

“tapi dia udah ngelamar kamu, Jisoo—

“but he still loves Jeonghan, Hansol. he do!” sahutku dengan suara bergetar.

Hansol mengambil satu tanganku untuk ia genggam.

“terus kenapa kamu masih pertahanin hubungan kamu, kalau kamu tau dia gabisa mencintai kamu?”

“karena aku pikir dia benar-benar membuka hatinya padaku, semua perlakuan manisnya, terasa tulus bagiku, Hansol.

dan…

aku gak tau kalo selama ini masa lalunya ternyata berada disekitar kami.”

aku terkekeh lirih, “i’m stupid, right?”

“no. kamu kan gak tau. dia yang gak jujur sama kamu.”

aku mengangguk, “why he’s doing this to me?” air mataku kembali menggenang.

“dia hanya ingin menjaga perasaanmu, percayalah.”

“haruskah aku percaya?”

Hansol mengangguk. tangannya terulur menghapus air mata yang masih terus mengalir di pipiku.

“stop crying, i hate to see you cry.”

namun gagal karena aku malah semakin menangis dan kembali berada dalam pelukan hangatnya. ia mengusap bahuku naik dan turun juga mengusap kepalaku dengan sayang.

sore itu aku meluapkan segalanya pada Hansol, semuanya.

Sebuah kisah

Seungcheol mengacak rambutnya kasar saat menuju apartemen Jeonghan.

Netranya sibuk berbagi fokus antara jalanan yang macet dengan handphone yang ia genggam.

Ia berusaha meredamkan kekhawatiran yang muncul di benaknya.

Baru kali ini.. Ya.. Baru kali ini Jeonghan tidak membalas pesannya berjam-jam. Ia juga telah memastikan bahwa Jeonghan tidak memiliki shift untuk berjaga di RS hari ini.

Pikirannya berkecamuk.

Entah mengapa, ia begitu khawatir akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi begitu saja.

Ia terus menekan klaksonnya karena jalanan malah semakin ramai. Dengan banyaknya motor yang menyerobot, membuat ia semakin tak sabar.

“Ah sial. Kenapa jadi macet parah gini sih.”

Ia kembali mengacak rambutnya kasar.

“Han.. Please.. angkat..” Gumamnya menatap layar ponselnya yang masih hanya menampakkan nama sejak tadi.

Sepersekian detik kemudian, ia berlari menuju kediaman Jeonghan.

/ting-tong/

/ting-tong/

/ting-tong/

Tak ada jawaban terdengar.

“Han.. Please.. Kamu di dalem kan?” Teriaknya sembari mencoba membuka pintu apart yang ternyata tak terkunci.

Maafkan ia jika menyerobot masuk. Ia hanya ingin memastikan keadaan Jeonghan.

“Han.. Jeonghan.. Yoon Jeonghan!” Teriaknya di sepenjuru apart.

Tak ada jawaban.

Ia membuka kamar Jeonghan perlahan.

Kamar yang sangat tidak asing. Kamar yang sudah ia hafal setiap bagiannya.

Marahilah ia karena sempat bernostalgia.

Fokusnya kembali.

Ia memeriksa setiap sudut kamar yang belum juga menampakkan Jeonghan.

Ia membuka semua kamar.

Tidak ada.

Ia masih belum menemukan Jeonghan.

“Han.. Please.. Kamu dimana?” Teriaknya memenuhi apartment itu.

Langkahnya terhenti saat ia mendapati sosok yang ia cari telah tergeletak di lantai dapur.

Ia segera menghampiri sosok yang tak sadarkan diri itu.

“Astaga han.. Bangun.. Han.. Kamu denger mas kan? Ini aku, han.. please.. bangun..” Ujar Seungcheol dengan maniknya yang berkaca.

Hatinya turut rapuh melihat Jeonghan yang begitu pucat tak berdaya.

Sepersekian detik kemudian, Seungcheol menggendongnya, membawanya menuju rumah sakit.

. . .

1 menit

10 menit

1 jam

Seungcheol menggenggam tangan Jeonghan yang begitu dingin. Ia berada di sisi ranjang, menanti sosok yang begitu lemah di hadapannya membuka matanya.

“Han.. Bangun please..” Ucap Seungcheol menatap Jeonghan lekat.

Dokter bilang, Jeonghan terkena gejala tipes ditambah banyaknya fikiran dan juga pola makan dan tidurnya yang berantakan.

Sepersekian detik kemudian, ia merasakan gerakan lemah dalam genggamannya.

Ia segera memanggil dokter agar Jeonghan diperiksa.

Saat dokter datang, Jeonghan mengeluh susah untuk bernafas hingga dokter memberinya alat bantu pernafasan.

Hati Seungcheol terenyuh. Ia tak pernah melihat Jeonghan yang serapuh ini.

Saat dokter dan suster pergi, ia mendekat.

“Han..” Sapa Seungcheol.

“I-i-iya, mas.”

“Shut.. Kamu gak usah ngomong dulu ya kalo masih belum kuat.” Ucap Seungcheol mendengar Jeonghan yang masih sulit berkata.

Jeonghan mengangguk.

Entah mengapa dadanya begitu sesak saat ini.

“Aku udah hubungin keluarga kamu, mungkin sebentar lagi mereka nyampe.” Ucap Seungcheol begitu lembut.

Ia kembali menggenggam tangan Jeonghan dengan begitu lembut. Seakan menyalurkan kekuatan dengan kehangatan.

“Jangan gini lagi.. Jangan gak bisa dihubungin lagi.. Jangan buat khawatir orang lain lagi, han..” Ucap Seungcheol dengan nada frustasinya.

Ia benar-benar begitu khawatir sejak tadi.

Sementara itu, Jeonghan malah menitikan air matanya. Entah apa yang berada dalam benaknya saat ini.

“Han.. Maaf.. Aku gak bermaksud buat marahin kamu.. Aku cuma gak mau kamu kesakitan sendiri kayak tadi, han..” Ucap Seungcheol menatap sosok yang begitu pucat itu dengan begitu lekat.

“M-ma-ka-sih, mas.” Ucap Jeonghan yang masih terbata.

Ia masih tidak memiliki tenaga. Ntahlah kemana pergi tenaganya. Mungkin telah habis saat ia menangis sejak pagi.

“Please.. Telfon aku.. Telfon aku kalo kamu sakit lagi ya?” Ucap Seungcheol dengan nadanya yang begitu menenangkan.

Jeonghan mengangguk.

Hatinya terenyuh. Ia tak menyangka jika Seungcheol akan begitu khawatir terhadapnya.

Sepersekian detik kemudian, Chan dan Kwan telah berada di sana.

Seungcheol melepas genggamannya perlahan.

“YA AMPUN KAK HAN..” Ucap Seungkwan sembari memeluk sang kakak.

“KAKAK.. Jangan sakit gini..” Timpal Chan yang turut memeluk sang kakak.

“Kakak kalian masih lemah.. Ngomongnya pelan-pelan ya..” Ucap Seungcheol dengan begitu lembut yang diangguki oleh Seungkwan dan Chan yang tengah terisak.

“Kak han gapapa kan mas?” Tanya Chan menatap Seungcheol.

“Kakak kalian cuma kecapekan aja. Tapi masih harus dirawat inap beberapa hari dulu.” Ucap Seungcheol perlahan, meminimalisir kekhawatiran yang mereka rasakan.

“Mas.. Makasih udah jagain kak han.” Ucap Seungkwan menatap Seungcheol tulus.

“Sama-sama.”

“Eh tapi kak Mingyu mana?” Ucap Seungkwan tiba-tiba yang membuat suasana ruangan itu berubah seketika.

Jeonghan terdiam.

Sementara itu, Seungcheol sibuk memberi tanda pada Seungkwan untuk tidak menanyakan Mingyu dulu.

“Eh i-itu kak. Masa tadi Chan gak bangun-bangun pas aku bangunin buat ke sini. Kebo banget kamu, chan.” Ucap Seungkwan yang langsung mengganti topik pembicaraan.

“Ih apaan sih kok gue??” Jawab Chan kemudian.

Jeonghan tersenyum perlahan.

Ia senang melihat keributan kecil dari kedua adiknya.

. . .

Keesokan harinya, Seungcheol masih tetap di sana. Ia turut menjaga Jeonghan yang masih perlu dirawat.

Jeonghan sudah membaik. Alat bantu pernafasannya juga telah dilepas.

Seungcheol menatap Jeonghan yang masih terlelap. Ia memandang wajah tenang itu. Wajah yang seakan baru bisa begitu tenang dalam tidurnya.

Sepersekian detik kemudian, suster datang membawa makan siang Jeonghan beserta obat-obatnya.

“Maaf pak. Tolong dibangunin pak Jeonghannya karena sekarang sudah waktunya minum obat.” Ucap suster itu dengan nada pelannya.

“Sebentar lagi ya sus. Biar saya aja.” Ucap Seungcheol mengizinkan suster itu untuk pergi lebih dulu.

“Baik, pak.”

Seungcheol kembali menatap wajah tenang itu. Ia tidak tega untuk mengacaukan ketenangan itu walau sesaat.

1 menit

3 menit

5 menit

Kedua mata itu terbuka perlahan. Seakan paham jika sudah waktunya untuk bangun.

“Han.. Bangun dulu yuk.. Udah waktunya makan siang ama minum obat.” Ujar Seungcheol dengan begitu lembut.

Jeonghan mengangguk. Begitupun Seungcheol yang sigap menaikkan kasur di bagian kepala Jeonghan.

“Mas suapin ya.”

“Eh ng-nggak usah mas, aku bisa sendiri.”

“O-oke.” Ujar Seungcheol sembari meletakkan nampan yang berisikan bubur dan obat itu pada meja portable pada ranjang Jeonghan.

Jeonghan menatap malas bubur di hadapannya. Entah mengapa selera makannya hilang.

“Pantes aja ya orang-orang sakit susah buat makan. Makanannya sehampa ini sih.” Gumamnya melihat nampan yang serba putih.

Ia teringat dengan pasien-pasien yang ia rawat.

“Maka dari itu.. Cepet sembuh ya..” Ucap Seungcheol dengan tangannya yang refleks mengacak singkat rambut Jeonghan.

Jeonghan mengangguk.

Ia mengaduk bubur itu sesaat. Oh.. Bukan sesaat.. Ia terus mengaduk bubur itu seakan tak berniat untuk memakannya.

“Di makan, han..” Ucap Seungcheol mengingatkan.

“Buburnya ajaib deh, mas. Masa aku liatin doang udah bikin aku kenyang.. Hehehe.” Ucap Jeonghan bersemangat yang mendapat gelengan dari Seungcheol.

“Hah? Ada-ada aja kamu. Sini sini biar mas suapin aja. Sampe buburnya dingin pun kamu gak bakalan makan.” Ucap Seungcheol yang telah berhasil merampas sendok yang dipegang Jeonghan.

“Yah..” Gerutu Jeonghan dengan bibirnya yang mengerucut.

“Pengen cepet sembuh kan?” Tanya Seungcheol yang diangguki oleh Jeonghan dengan setengah hati.

“Makan ya.. Mas janji bakal beliin kamu makanan enak kalo udah sembuh nanti.”

“Beneran?” Timpal Jeonghan dengan maniknya yang mulai berbinar.

“Iya.. Jadi sekarang makan bubur ini dulu ya?”

“Tapi buburnya gak enak.” Gerutu Jeonghan dengan bibirnya yang kian mengerucut.

“Enak kok! Nih..” Ucap Seungcheol yang telah mencicipi bubur yang ia genggam.

Jeonghan tergelak melihat Seungcheol yang pasti tengah berbohong agar dirinya mau makan.

“Hahaha iya deh tapi dikit aja ya.” Ucap Jeonghan yang telah luluh.

“Nah gitu dong. AAAAA.” Ucap Seungcheol dengan sesendok bubur yang ia arahkan pada mulut Jeonghan.

Jeonghan mengunyahnya perlahan.

“Hmm not bad sih ya rasanya. Lumayan.” Gumamnya dengan mulutnya yang masih penuh.

Seungcheol tersenyum melihat tingkah Jeonghan yang entah mengapa terlihat begitu menggemaskan saat sakit.

Ia kembali menyuapi Jeonghan hingga perlahan, tangannya mendekat pada wajah Jeonghan.

“Pelan-pelan, han. Tuhkan ampe belepotan gini.” Ujar Seungcheol dengan tangan kananya yang mengelap ujung bibir Jeonghan.

Keduanya bersitatap. Entah mengapa jarak kedua wajah itu seakan begitu dekat.

Tatapan keduanya semakin dalam dan dalam.

Entah apa yang tengah mereka fikirkan.

Kedua wajah itu kian mendekat.

10 cm

5 cm

3 cm

Seungcheol terhenti. Ia teringat pada sang kekasih yang muncul di fikirannya tiba-tiba.

“Eh i-ini buburnya diabisin ya, han.” Ujar Seungcheol memecah keheningan diantara keduanya.

“I-iya, mas. Eh nggak.”

“Gimana, han?”

“Aku kenyang.” Ujar Jeonghan dengan bibirnya yang telah ia tutup rapat.

“Ya udah, minum obatnya aja ya sekarang?” Tanya Seungcheol dengan begitu lembut.

Jeonghan mengangguk dengan senyum yang terpancar di wajahnya.

Hug

Seungcheol melangkah sembari memegang plastik berisikan obat untuk sang ayah. Ia baru saja menebusnya di apotik RS.

Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang begitu ia kenal.

Sosok yang entah mengapa seakan selalu berada di sekitarnya akhir-akhir ini. Sosok itu terlihat begitu rapuh dengan tatapan kosongnya.

Seungcheol mendekat walau sosok itu seakan tak sadar akan keberadaannya.

“Han?”

Tak ada jawaban.

“Jeonghan?”

Tak ada jawaban.

“Yoon Jeonghan?” Sapa Seungcheol lagi dan lagi.

“Eh i-iya.” Timpal Jeonghan yang baru sadar akan lamunannya.

“Boleh duduk?” Tanya Seungcheol kemudian melihat bangku di samping Jeonghan yang kosong.

“Eh boleh kok mas.”

“Shift malem?” Tanya Seungcheol yang diangguki oleh Jeonghan.

“Kalo mas Cheol sendiri ngapain malem-malem di sini?”

Seungcheol memperlihatkan plastik yang ia genggam.

“Abis nebus obat ayah.”

“Oh.. Ayah apa kabar, mas?”

“Baik, han. Ayah udah jauh lebih baik sekarang.” Ucap Seungcheol dengan kedua sudut bibirnya yang ia tarik, membentuk senyuman.

“Syukurlah.”

Hening sesaat.

“Boleh mas tanya?” Ucap Seungcheol kemudian memecah keheningan.

“Tanya apa mas?”

“Keadaan kamu sendiri gimana?”

“Hah?”

“Maafin, mas ya.. Gara-gara aku, Mingyu jadi marah ama kamu. Mas juga gak tau kenapa Mingyu jadi semarah itu. Maafin aku, han.” Ucap Seungcheol dengan netranya yang menatap Jeonghan lekat.

Jeonghan terdiam.

Entah mengapa, dadanya bergejolak. Terlalu banyak hal yang telah ia tahan. Terlalu banyak sakit yang seakan begitu menumpuk di dadanya.

Ia memegang dadanya yang entah mengapa seakan mulai sesak. Bertepatan dengan netranya yang telah berkaca.

Sementara itu, Seungcheol melihat Jeonghan yang terlihat kian rapuh.

Ia membuka kedua tangannya. Seakan mengizinkan sosok di sebelahnya untuk masuk ke dalam dekapnya.

Sosok itu terkesiap. Seakan enggan untuk mendekat.

“Sini.. Luapin semua yang kamu rasain, han.” Ucap Seungcheol yang telah meraih sosok di sebelahnya ke dalam peluknya.

Jeonghan terdiam sesaat namun tak berniat untuk berontak.

Inilah yang ia butuhkan.

Dada bidang nan hangat sebagai tempat pilunya.

1 detik.

2 detik.

3 detik.

Pertahanannya runtuh.

Ia tak lagi terdiam.

Isaknya mulai terdengar memenuhi lorong rumah sakit yang kian lengang.

Seungcheol mengusap punggung sosok itu dengan begitu lembut.

Hatinya terenyuh mendengar isak sang sosok yang kian pilu.

Tak ada percakapan.

Jeonghan melingkarkan kedua lengannya pada punggung sosok yang tengah mendekapnya.

Tempat ini begitu nyaman baginya.

Tak ada kata yang terucap. Keduanya saling menenangkan tanpa kata.

1 menit.

2 menit.

3 menit.

Entahlah.. Keduanya tetap pada posisi yang sama.

Sepersekian detik kemudian, Jeonghan bergerak mundur.

“Do you feel better?” Tanya Seungcheol menatap Jeonghan yang masih mengatur nafasnya. Isaknya telah reda.

Jeonghan mengangguk. Ia benar-benar merasa lebih baik dari sebelumnya.

“Syukurlah.”

“Ma-makasih, mas.” Ucapnya dengan sisa isaknya.

Entah mengapa, Seungcheol menggenggam jemari Jeonghan dengan begitu lembut.

“Kamu tenang aja ya.. Nanti mas coba ngomong lagi ke Mingyu.” Ucap Seungcheol dengan tatapan teduhnya.

Jeonghan mengangguk.

Entah mengapa, ia merasakan ketenangan di dalam hatinya.

Keduanya terdiam sesaat dengan jemari yang masih saling bertaut.

Sepersekian detik kemudian, Seungcheol sadar.. ia masih memiliki Jisoo. Ia melepaskan genggamannya perlahan.

“Hmm han.. mas pamit dulu ya,” Ucap Seungcheol tiba-tiba.

“Hati-hati ya, mas.. Dan.. makasih.” Ucap Jeonghan dengan senyumnya yang mulai mengembang.

“Santai aja. Kamu jangan kelamaan di luar ya. Dingin.”

“Hehehe iya, mas.”

“See you.”

sore itu Seungcheol mengemudikan mobilnya berjalan-jalan berkeliling kota Jakarta. sedikit bosan karena tak melakukan apapun.

liburnya hanya tersisa beberapa hari saja, jadi masih sempat baginya untuk bersantai dan berjalan-jalan. lagipula saat ini ia berada di Jakarta karena demi pemulihan sang ayah.

seperti yang kita ketahui, jalanan dikota Jakarta terlampau ramai hingga macet pun tak dapat dihindari, seperti mobil milik Seungcheol yang terjebak macet saat ini.

salah banget gue keluar jam segini, batin Seungcheol.

namun…

drrrtt drrrtt

ponsel Seungcheol bergetar menampilkan nama ‘Bunda.’

Seungcheol pun langsung mengangkat panggilan itu, sepertinya penting.

“halo bunda..”

“Mas.. Mas dimana toh?”

“Mas masih di jalan nih bund, kejebak macet.. ada apa bunda?”

“ini loh.. nak Jeonghan.. tadi bunda minta kesini tapi dia ga bawa mobil. Mas jemput bisa ndak?”

“kenapa ga suruh Mingyu aja bund?”

“kasihan toh adik kamu, dia shift malem hari ini.. masih tidur juga tuh si adek, ga tega bunda banguninnya.”

“hmm gitu.. ya..boleh. tapi udah bilang Jeonghannya belum bund?”

“udah.. Mas tinggal jemput aja. ini udah jam setengah 5 sore, nak Jeonghan kan selesai shiftnya bentar lagi-

iya bund.. Mas tau.. dulu Mas sering anter jemput han..

-jadi Mas langsung aja kesana yah supaya nak Jeonghan ga nunggu lama.”

“baik bunda.. Mas ke rumah sakit sekarang ya”

dan Seungcheol pun menutup panggilan tersebut bertepatan dengan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi hijau-tanda boleh berjalan. Seungcheol memutar balik laju mobilnya menuju rumah sakit tempat Jeonghan bekerja.

***

“Mas sorry tadi aku ketahan sama soonyoung didalem, biasa… anaknya lagi galau”

“it’s okay han.. yuk.. bunda udah nungguin kamu dirumah”

Jeonghan mengangguk dan keduanya masuk ke dalam mobil sebelum meninggalkan pekarangan rumah sakit tersebut.

dijalan, keduanya hanya fokus menatap jalanan ditemani suara radio. tak ada yang berbicara, karena tak tahu harus berbicara tentang apa.

namun Seungcheol berusaha mencari topik…

“bunda minta kamu kerumah emangnya ada apa han?”

“kangen Mas..”

“hah??”

“eh- itu.. bunda kangen aku katanya.”

fiuhhh

“o-oh… Mas kira kamu kangen Mas..”

emang iya.

“ih mana ada, aku kangennya sama Mingyu!”

Seungcheol tersenyum tipis, ia lupa, Jeonghan kini milik Mingyu.

“kaya Mas.. Mas pasti kangen Jisoo kan?”

mobil terhenti karena lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah. Seungcheol menoleh pada Jeonghan, dan Jeonghan pun takut mendengar jawaban setelahnya…

“iya.. Mas kangen Jisoo. kangen banget.”

lalu Seungcheol kembali menoleh kedepan, melewatkan raut wajah Jeonghan yang tiba-tiba tersenyum miris.

Ayolah han.. kalian udah mutusin buat melepas semua di masalalu, sekarang apa?

.

.

.

dan tibalah mereka di pekarangan apartemen milik Mingyu. keduanya kembali diam tanpa ada yang ingin mereka bicarakan. keduanya diam sepanjang jalan saat mereka menuju ke unit yang ditempati Choi sekeluarga.

Jeonghan berjalan lebih dulu, ia tiba-tiba merasa tak nyaman dengan hawa disekitar mereka.

namun saat Jeonghan hendak menekan bel apartemen kekasihnya, pintu terbuka secara tiba-tiba menampilkan Mingyu yang sudah akan bersiap-siap berangkat kerja.

“loh sayang.. kamu ngapain disini?”

“eh.. itu bunda nyuruh aku kesini tadi, emang bunda ga bilang?”

“engga.. kok aku ga dikasih tau?”

belum sempat Jeonghan menjawab, Seungcheol tiba-tiba muncul dibelakang Jeonghan yang membuat Mingyu mengernyitkan dahinya.

“Mas.. kok- kalian barengan?”

Seungcheol dan Jeonghan saling melempar pandang, mereka seperti tahu bahwa nada bertanya Mingyu terdengar tak senang.

“itu.. tadi bunda minta Mas Cheol jemput aku—”

Mingyu yang terbakar api cemburu dengan cepat melesat meninggalkan keduanya disana. Apa-apaan ini, pikirnya.

“yang? sayang!”

“Mingyu! tunggu!!”

tapi Mingyu hanya terus berjalan tanpa menghiraukan Jeonghan dan Seungcheol yang terus memanggilnya.

Mingyu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, bersama pikiran-pikiran buruk yang satu persatu mulai hinggap dikepalanya.

sebenarnya siapa sih pacar Jeonghan? Gue apa Mas Cheol?

sore itu Seungcheol mengemudikan mobilnya berjalan-jalan berkeliling kota Jakarta. sedikit bosan karena tak melakukan apapun.

Jisoo POV

Jadi pilot itu… bukan keinginanku sepenuhnya. cita-citaku sendiri sebenarnya adalah menjadi seniman. apa yang sedang aku jalani adalah murni keinginan Daddy and i’m happy if he’s happy.

He’s my life.

tapi kalo seandainya aku bilang aku capek dengan keadaan begini salah ga sih?

bahkan setelah aku udah terjun ke dunia penerbangan, udah mulai mengemudikan pesawat dengan tanganku sendiri, Daddy tetap ingin lebih dan lebih lagi.

Daddy pengen aku jadi captain sedangkan saat ini aku masihlah Copilot junior…hahaha

Daddy ingin teman-temannya tau kalau anaknya bisa menyamakan bahkan melebihi pangkatnya dulu. ya… Daddy juga berprofesi sebagai pilot namun melebihi captain. Daddy is a flight instructor aircraft.

dan sewaktu tadi ponselku menampilkan notif chat dari Daddy, hatiku mencelos, perasaan takut menjalar dalam diriku. aku takut sewaktu-waktu Daddy akan memarahiku lagi, disaat aku sedang fokus dan bersemangat. aku tak ingin sesuatu mengganggu pikiranku. aku tak ingin melakukan sesuatu dengan mood yang berantakan. aku hanya sedang berusaha melakukan yang terbaik… i swear to god i’m trying to do my best.

jujur… sulit menjalani sesuatu yang bukan bagian dari kesukaanmu. seperti yang sedang aku jalani. tapi aku harus melakukannya, karena aku ingin senyum Daddy kembali.

sejak Mami pergi ninggalin dunia ini, Daddy jadi lebih diam, Daddy hanya menghabiskan waktu dikamar karena ia memutuskan untuk pensiun dini dan fokus merawatku yang dulu hanyalah anak SMA. bahkan kami sering melewatkan makan malam bersama, sarapan bersama, apapun yang kami lakukan bersama perlahan mulai kami lakukan sendiri-sendiri.

sebenarnya aku adalah manusia yang kesepian haha…

Daddy yang tak banyak bicara, membuatku hanya berteman dengan sepi.

Daddy yang emosinya kadang tak stabil, sering kali memarahiku untuk kesalahan kecil sekalipun.

dan saat dewasa, aku berusaha mengejar apa yang Daddy inginkan dan ya… i got it. berat bagiku meninggalkan Daddy sendirian jikalau aku sedang bertugas, tapi Daddy selalu bilang… “i’m okay.. just go.. you can leave me, kejar apa yang seharusnya kamu kejar.”

of course i would do anything for him. but… i’m really tired with my fuckin’ life. huh…

tapi saat-saat terkelamku perlahan tergantikan dengan kebahagiaan saat seseorang mulai mengisi hatiku.

seseorang yang beberapa waktu lalu memintaku untuk menjadi sebagian dari hidupnya.

seseorang yang menjadi pelengkap hidupku.

dia Mas Cheol… tunanganku, yang juga adalah seorang partner yang sangat bijak. dia, Mas Cheol… yang membimbingku hingga aku menjadi seperti sekarang. dia, Mas Cheol… yang selalu membuatku melupakan kesepian yang bertahun-tahun hinggap dihidupku.

tapi…

bagaimana kalau Daddy tau calon suamiku adalah seorang Captain? mungkin, aku akan dicaci maki habis-habisan karena kalah dari orang lain.

padahal… seharusnya itu hal bagus bukan? mempunyai calon suami seorang captain.

but not for him. for him it was a defeat. and i can’t lose.

lantas… apa yang harus kulakukan?

***

mommy.. i miss you, so much….

batin Jisoo sembari mengusap air mata yang terus jatuh tak terbendung.

Mas cheol… it’s hurt

Mas cheol… how do we deal with my dad?

Jisoo POV

Jadi pilot itu… bukan keinginanku sepenuhnya. cita-citaku sendiri sebenarnya adalah menjadi seniman. apa yang sedang aku jalani adalah murni keinginan Daddy and i’m happy if he’s happy.

He’s my life.

tapi kalo seandainya aku bilang aku capek dengan keadaan begini salah ga sih?

bahkan setelah aku udah terjun ke dunia penerbangan, udah mulai mengemudikan pesawat dengan tanganku sendiri, Daddy tetap ingin lebih dan lebih lagi.

Daddy pengen aku jadi captain sedangkan saat ini aku masihlah Copilot junior…hahaha

Daddy ingin teman-temannya tau kalau anaknya bisa menyamakan bahkan melebihi pangkatnya dulu. ya… Daddy juga berprofesi sebagai pilot namun melebihi captain. Daddy is a flight instructor aircraft.

dan sewaktu tadi ponselku menampilkan notif chat dari Daddy, hatiku mencelos, perasaan takut menjalar dalam diriku. aku takut sewaktu-waktu Daddy akan memarahiku lagi, disaat aku sedang fokus dan bersemangat. aku tak ingin sesuatu mengganggu pikiranku. aku tak ingin melakukan sesuatu dengan mood yang berantakan. aku hanya sedang berusaha melakukan yang terbaik… i swear to god i’m trying to do my best.

jujur… sulit menjalani sesuatu yang bukan bagian dari kesukaanmu. seperti yang sedang aku jalani. tapi aku harus melakukannya, karena aku ingin senyum Daddy kembali.

sejak Mami pergi ninggalin dunia ini, Daddy jadi lebih diam, Daddy hanya menghabiskan waktu dikamar karena ia memutuskan untuk pensiun dini dan fokus merawatku yang dulu hanyalah anak SMA. bahkan kami sering melewatkan makan malam bersama, sarapan bersama, apapun yang kami lakukan bersama perlahan mulai kami lakukan sendiri-sendiri.

sebenarnya aku adalah manusia yang kesepian haha…

Daddy yang tak banyak bicara, membuatku hanya berteman dengan sepi.

Daddy yang emosinya kadang tak stabil, sering kali memarahiku untuk kesalahan kecil sekalipun.

dan saat dewasa, aku berusaha mengejar apa yang Daddy inginkan dan ya… i have it. berat bagiku meninggalkan Daddy sendirian jikalau aku sedang bertugas, tapi Daddy selalu bilang… “i’m okay.. just go.. you can leave me, kejar apa yang seharusnya kamu kejar.”

of course i would do anything for him. but… i’m really tired with my fuckin’ life. huh…

tapi saat-saat terkelamku perlahan tergantikan dengan kebahagiaan saat seseorang mulai mengisi hatiku.

seseorang yang beberapa waktu lalu memintaku untuk menjadi sebagian dari hidupnya.

seseorang yang menjadi pelengkap hidupku.

dia Mas Cheol… tunanganku, yang juga adalah seorang partner yang sangat bijak. dia, Mas Cheol… yang membimbingku hingga aku menjadi seperti sekarang. dia, Mas Cheol… yang selalu membuatku melupakan kesepian yang bertahun-tahun hinggap dihidupku.

tapi…

bagaimana kalau Daddy tau calon suamiku adalah seorang Captain? mungkin, aku akan dicaci maki habis-habisan karena kalah dari orang lain.

padahal… seharusnya itu hal bagus bukan? mempunyai calon suami seorang captain.

but not for him. for him it was a defeat. and i can’t lose.

lantas… apa yang harus kulakukan?

***

mommy.. i miss you, so much….

batin Jisoo sembari mengusap air mata yang terus jatuh tak terbendung.

Mas cheol… it’s hurt.

Mas cheol… how do we deal with my dad?

Jisoo POV

Jadi pilot itu… bukan keinginanku sepenuhnya. cita-citaku sendiri sebenarnya adalah menjadi seniman. apa yang sedang aku jalani adalah murni keinginan Daddy and i’m happy if he’s happy.

He’s my life.

tapi kalo seandainya aku bilang aku capek dengan keadaan begini salah ga sih?

bahkan setelah aku udah terjun ke dunia penerbangan, udah mulai mengemudikan pesawat dengan tanganku sendiri, Daddy tetap ingin lebih dan lebih lagi.

Daddy pengen aku jadi captain sedangkan saat ini aku masihlah Copilot junior…hahaha

Daddy ingin teman-temannya tau kalau anaknya bisa menyamakan bahkan melebihi pangkatnya dulu. ya… Daddy juga berprofesi sebagai pilot namun melebihi captain. Daddy is a flight instructor aircraft.

dan sewaktu tadi ponselku menampilkan notif chat dari Daddy, hatiku mencelos, perasaan takut menjalar dalam diriku. aku takut sewaktu-waktu Daddy akan memarahiku lagi, disaat aku sedang fokus dan bersemangat. aku tak ingin sesuatu mengganggu pikiranku. aku tak ingin melakukan sesuatu dengan mood yang berantakan. aku hanya sedang berusaha melakukan yang terbaik… i swear to god i’m trying to do my best.

jujur… sulit menjalani sesuatu yang bukan bagian dari kesukaanmu. seperti yang sedang aku jalani. tapi aku harus melakukannya, karena aku ingin senyum Daddy kembali.

sejak Mami pergi ninggalin dunia ini, Daddy jadi lebih diam, Daddy hanya menghabiskan waktu dikamar karena ia memutuskan untuk pensiun dini dan fokus merawatku yang dulu hanyalah anak SMA. bahkan kami sering melewatkan makan malam bersama, sarapan bersama, apapun yang kami lakukan bersama perlahan mulai kami lakukan sendiri-sendiri.

sebenarnya aku adalah manusia yang kesepian haha…

Daddy yang tak banyak bicara, membuatku hanya berteman dengan sepi.

Daddy yang emosinya kadang tak stabil, sering kali memarahiku untuk kesalahan kecil sekalipun.

dan saat dewasa, aku berusaha mengejar apa yang Daddy inginkan dan ya… i have it. berat bagiku meninggalkan Daddy sendirian jikalau aku sedang bertugas, tapi Daddy selalu bilang… “i’m okay.. just go.. you can leave me, kejar apa yang seharusnya kamu kejar.”

of course i would do anything for him. but… i’m really tired with my fuckin’ life. huh…

tapi saat-saat terkelamku perlahan tergantikan dengan kebahagiaan saat seseorang mulai mengisi hatiku.

seseorang yang beberapa waktu lalu memintaku untuk menjadi sebagian dari hidupnya.

seseorang yang menjadi pelengkap hidupku.

dia Mas Cheol… tunanganku, yang juga adalah seorang partner yang sangat bijak. dia, Mas Cheol… yang membimbingku hingga aku menjadi seperti sekarang. dia, Mas Cheol… yang selalu membuatku melupakan kesepian yang bertahun-tahun hinggap dihidupku.

tapi…

bagaimana kalau Daddy tau calon suamiku adalah seorang Captain? mungkin, aku akan dicaci maki habis-habisan karena kalah dari orang lain.

padahal… seharusnya itu hal bagus bukan? mempunyai calon suami seorang captain.

but not for him. for him it was a defeat. and i can’t lose.

lantas… apa yang harus kulakukan?

***

mommy.. i miss you, so much….

batin Jisoo sembari mengusap air mata yang terus jatuh tak terbendung.

Mas cheol… it’s hurt

Mas cheol… how do we deal with my dad?

JEONGHAN POV

Gak kerasa ternyata ini udah bulan terakhir dinas gue di salah satu rumah sakit di jogja. Gue ditugaskan untuk menggantikan salah satu senior gue yang lagi cuti melahirkan dan akhirnya disini gue sekarang.

Gue seneng banget bisa ada disini, karena menurut gue suasanannya sangat beda jauh antara jogja dan jakarta walaupun sama sama ramai hehe. Jogja itu bagi gue seperti kota untuk sebuah pelarian dari hiruk pikuk ibukota jakarta (hahaha apasih gue)

Selama di jogja, kegiatan gue gitu-gitu aja sih gaada yang spesial. Gue bangun tidur, kerja, pulang dan istirahat. Gue tipe orang yang emang males untuk jalan-jalan keluar, lagian gue juga disini sendirian, gaada kerabat terdekat gue yang tinggal di jogja.

Tapi belakangan ini, kebiasaan gue berubah sih. Setelah selesai shift kerja gue pasti gue akan selalu mengunjungi salah satu pasien kenalan gue, pada tau kan siapa? Ya bener, ayahnya pacar dan mantan gue (ribet ya) yaudah lah..

Si dia, mantan gue sering bawa gue untuk jalan-jalan sekedar cari makan malem berdua. Gatau sih maksud dan tujuan si mas mantan bawa gue jalan jalan. Gue yang notabenenya laper setelah seharian kerja yaudah gue sih menerima aja kapan lagi yaakan di traktir.

Beberapa kali juga gue diajak sama si dia untuk pergi ke wisata wisata yang ada di jogja, kaya candi borobudur, gumuk pasir, goa jomblang dan banyak yang lainnya.

Dia selalu maksa gue dengan kalimatnya yang itu-itu aja sampai gue hafal di luar kepala.

“Masa si han, udh di jogja ga jalan jalan. Rugi loh. Udah ayo kan tinggal duduk doang mas yang nyetir”

Jadilah gue dengan hati setengah terpaksa, mengikuti kemauan si dia. Dan selalu diakhiri dengan kita berdua menikmati es di tempo gelato.

Kalian jangan salah paham ya, setiap gue pergi sama si dia gue selalu kabarin pacar gue yang ada di jakarta kok dan dia si pengertian itu selalu mengizinkan gue untuk jalan bersama mantan gue.

Gue berterimakasih sih kepada mas mantan karena dia gue bisa menikmati hari-hari terakhir gue di jogja. Gue bisa tau dimana aja kuliner jogja yang lezat dan murah.

Selain itu, ada satu orang lagi yang sangat gue syukuri kehadirannya selama gue di jogja. Orang ini adalah salah satu pengganti sosok ibu gue selama di jogja. Dia adalah bunda. Bunda nya Mas Seungcheol dan Mingyu.

Bunda itu, setiap hari selalu bawain gue sarapan padahal gue selalu bilang gausah karena takut bunda terlalu capek karena harus pulang pergi ke rumah sakit untuk jaga ayah.

Bahkan kadang gue sering menginap di rumah bunda sekedar menemani bunda yang sendirian karena Mas Seungcheol harus menjaga ayah di rumah sakit.

Bunda dan ayah itu udah gue anggep seperti orang tua gue sendiri. Bahkan seringkali mereka bilang lebih sayang sama gue dari pada anaknya si Choi Seungcheol.

“Bun, anaknya bunda aku atau han sih? Kok perhatiannya sama han doang” ucap si dia.

“Dulu sih anak bunda kamu, tapi sekarang ganti deh jadi Jeonghan aja”

“Ish yaudah Mas ngambek aja sama bunda” katanya dengan wajah cemberut.

“Ngambek kok diomongin Mas” ucap ayah yang ikut meledeki anaknya itu.

Jogja, kalau gue ada kesempatan lagi, gue pengen balik lagi kesini, bisa lihat ayah sama bunda senyum lagi, bisa merasakan kasih sayang ayah dan bunda lagi untuk gue.

Tapi gue janji kalau ada waktu libur gue akan ke jogja lagi, bukan untuk kulineran atau pergi ke tempat wisata. Gue mau jenguk orang tua gue di jogja yaitu ayah dan bunda.

Jogja nanti gue kesini lagi ya!!