Sebuah kisah
Seungcheol mengacak rambutnya kasar saat menuju apartemen Jeonghan.
Netranya sibuk berbagi fokus antara jalanan yang macet dengan handphone yang ia genggam.
Ia berusaha meredamkan kekhawatiran yang muncul di benaknya.
Baru kali ini.. Ya.. Baru kali ini Jeonghan tidak membalas pesannya berjam-jam. Ia juga telah memastikan bahwa Jeonghan tidak memiliki shift untuk berjaga di RS hari ini.
Pikirannya berkecamuk.
Entah mengapa, ia begitu khawatir akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi begitu saja.
Ia terus menekan klaksonnya karena jalanan malah semakin ramai. Dengan banyaknya motor yang menyerobot, membuat ia semakin tak sabar.
“Ah sial. Kenapa jadi macet parah gini sih.”
Ia kembali mengacak rambutnya kasar.
“Han.. Please.. angkat..” Gumamnya menatap layar ponselnya yang masih hanya menampakkan nama sejak tadi.
Sepersekian detik kemudian, ia berlari menuju kediaman Jeonghan.
/ting-tong/
/ting-tong/
/ting-tong/
Tak ada jawaban terdengar.
“Han.. Please.. Kamu di dalem kan?” Teriaknya sembari mencoba membuka pintu apart yang ternyata tak terkunci.
Maafkan ia jika menyerobot masuk. Ia hanya ingin memastikan keadaan Jeonghan.
“Han.. Jeonghan.. Yoon Jeonghan!” Teriaknya di sepenjuru apart.
Tak ada jawaban.
Ia membuka kamar Jeonghan perlahan.
Kamar yang sangat tidak asing. Kamar yang sudah ia hafal setiap bagiannya.
Marahilah ia karena sempat bernostalgia.
Fokusnya kembali.
Ia memeriksa setiap sudut kamar yang belum juga menampakkan Jeonghan.
Ia membuka semua kamar.
Tidak ada.
Ia masih belum menemukan Jeonghan.
“Han.. Please.. Kamu dimana?” Teriaknya memenuhi apartment itu.
Langkahnya terhenti saat ia mendapati sosok yang ia cari telah tergeletak di lantai dapur.
Ia segera menghampiri sosok yang tak sadarkan diri itu.
“Astaga han.. Bangun.. Han.. Kamu denger mas kan? Ini aku, han.. please.. bangun..” Ujar Seungcheol dengan maniknya yang berkaca.
Hatinya turut rapuh melihat Jeonghan yang begitu pucat tak berdaya.
Sepersekian detik kemudian, Seungcheol menggendongnya, membawanya menuju rumah sakit.
. . .
1 menit
10 menit
1 jam
Seungcheol menggenggam tangan Jeonghan yang begitu dingin. Ia berada di sisi ranjang, menanti sosok yang begitu lemah di hadapannya membuka matanya.
“Han.. Bangun please..” Ucap Seungcheol menatap Jeonghan lekat.
Dokter bilang, Jeonghan terkena gejala tipes ditambah banyaknya fikiran dan juga pola makan dan tidurnya yang berantakan.
Sepersekian detik kemudian, ia merasakan gerakan lemah dalam genggamannya.
Ia segera memanggil dokter agar Jeonghan diperiksa.
Saat dokter datang, Jeonghan mengeluh susah untuk bernafas hingga dokter memberinya alat bantu pernafasan.
Hati Seungcheol terenyuh. Ia tak pernah melihat Jeonghan yang serapuh ini.
Saat dokter dan suster pergi, ia mendekat.
“Han..” Sapa Seungcheol.
“I-i-iya, mas.”
“Shut.. Kamu gak usah ngomong dulu ya kalo masih belum kuat.” Ucap Seungcheol mendengar Jeonghan yang masih sulit berkata.
Jeonghan mengangguk.
Entah mengapa dadanya begitu sesak saat ini.
“Aku udah hubungin keluarga kamu, mungkin sebentar lagi mereka nyampe.” Ucap Seungcheol begitu lembut.
Ia kembali menggenggam tangan Jeonghan dengan begitu lembut. Seakan menyalurkan kekuatan dengan kehangatan.
“Jangan gini lagi.. Jangan gak bisa dihubungin lagi.. Jangan buat khawatir orang lain lagi, han..” Ucap Seungcheol dengan nada frustasinya.
Ia benar-benar begitu khawatir sejak tadi.
Sementara itu, Jeonghan malah menitikan air matanya. Entah apa yang berada dalam benaknya saat ini.
“Han.. Maaf.. Aku gak bermaksud buat marahin kamu.. Aku cuma gak mau kamu kesakitan sendiri kayak tadi, han..” Ucap Seungcheol menatap sosok yang begitu pucat itu dengan begitu lekat.
“M-ma-ka-sih, mas.” Ucap Jeonghan yang masih terbata.
Ia masih tidak memiliki tenaga. Ntahlah kemana pergi tenaganya. Mungkin telah habis saat ia menangis sejak pagi.
“Please.. Telfon aku.. Telfon aku kalo kamu sakit lagi ya?” Ucap Seungcheol dengan nadanya yang begitu menenangkan.
Jeonghan mengangguk.
Hatinya terenyuh. Ia tak menyangka jika Seungcheol akan begitu khawatir terhadapnya.
Sepersekian detik kemudian, Chan dan Kwan telah berada di sana.
Seungcheol melepas genggamannya perlahan.
“YA AMPUN KAK HAN..” Ucap Seungkwan sembari memeluk sang kakak.
“KAKAK.. Jangan sakit gini..” Timpal Chan yang turut memeluk sang kakak.
“Kakak kalian masih lemah.. Ngomongnya pelan-pelan ya..” Ucap Seungcheol dengan begitu lembut yang diangguki oleh Seungkwan dan Chan yang tengah terisak.
“Kak han gapapa kan mas?” Tanya Chan menatap Seungcheol.
“Kakak kalian cuma kecapekan aja. Tapi masih harus dirawat inap beberapa hari dulu.” Ucap Seungcheol perlahan, meminimalisir kekhawatiran yang mereka rasakan.
“Mas.. Makasih udah jagain kak han.” Ucap Seungkwan menatap Seungcheol tulus.
“Sama-sama.”
“Eh tapi kak Mingyu mana?” Ucap Seungkwan tiba-tiba yang membuat suasana ruangan itu berubah seketika.
Jeonghan terdiam.
Sementara itu, Seungcheol sibuk memberi tanda pada Seungkwan untuk tidak menanyakan Mingyu dulu.
“Eh i-itu kak. Masa tadi Chan gak bangun-bangun pas aku bangunin buat ke sini. Kebo banget kamu, chan.” Ucap Seungkwan yang langsung mengganti topik pembicaraan.
“Ih apaan sih kok gue??” Jawab Chan kemudian.
Jeonghan tersenyum perlahan.
Ia senang melihat keributan kecil dari kedua adiknya.
. . .
Keesokan harinya, Seungcheol masih tetap di sana. Ia turut menjaga Jeonghan yang masih perlu dirawat.
Jeonghan sudah membaik. Alat bantu pernafasannya juga telah dilepas.
Seungcheol menatap Jeonghan yang masih terlelap. Ia memandang wajah tenang itu. Wajah yang seakan baru bisa begitu tenang dalam tidurnya.
Sepersekian detik kemudian, suster datang membawa makan siang Jeonghan beserta obat-obatnya.
“Maaf pak. Tolong dibangunin pak Jeonghannya karena sekarang sudah waktunya minum obat.” Ucap suster itu dengan nada pelannya.
“Sebentar lagi ya sus. Biar saya aja.” Ucap Seungcheol mengizinkan suster itu untuk pergi lebih dulu.
“Baik, pak.”
Seungcheol kembali menatap wajah tenang itu. Ia tidak tega untuk mengacaukan ketenangan itu walau sesaat.
1 menit
3 menit
5 menit
Kedua mata itu terbuka perlahan. Seakan paham jika sudah waktunya untuk bangun.
“Han.. Bangun dulu yuk.. Udah waktunya makan siang ama minum obat.” Ujar Seungcheol dengan begitu lembut.
Jeonghan mengangguk. Begitupun Seungcheol yang sigap menaikkan kasur di bagian kepala Jeonghan.
“Mas suapin ya.”
“Eh ng-nggak usah mas, aku bisa sendiri.”
“O-oke.” Ujar Seungcheol sembari meletakkan nampan yang berisikan bubur dan obat itu pada meja portable pada ranjang Jeonghan.
Jeonghan menatap malas bubur di hadapannya. Entah mengapa selera makannya hilang.
“Pantes aja ya orang-orang sakit susah buat makan. Makanannya sehampa ini sih.” Gumamnya melihat nampan yang serba putih.
Ia teringat dengan pasien-pasien yang ia rawat.
“Maka dari itu.. Cepet sembuh ya..” Ucap Seungcheol dengan tangannya yang refleks mengacak singkat rambut Jeonghan.
Jeonghan mengangguk.
Ia mengaduk bubur itu sesaat. Oh.. Bukan sesaat.. Ia terus mengaduk bubur itu seakan tak berniat untuk memakannya.
“Di makan, han..” Ucap Seungcheol mengingatkan.
“Buburnya ajaib deh, mas. Masa aku liatin doang udah bikin aku kenyang.. Hehehe.” Ucap Jeonghan bersemangat yang mendapat gelengan dari Seungcheol.
“Hah? Ada-ada aja kamu. Sini sini biar mas suapin aja. Sampe buburnya dingin pun kamu gak bakalan makan.” Ucap Seungcheol yang telah berhasil merampas sendok yang dipegang Jeonghan.
“Yah..” Gerutu Jeonghan dengan bibirnya yang mengerucut.
“Pengen cepet sembuh kan?” Tanya Seungcheol yang diangguki oleh Jeonghan dengan setengah hati.
“Makan ya.. Mas janji bakal beliin kamu makanan enak kalo udah sembuh nanti.”
“Beneran?” Timpal Jeonghan dengan maniknya yang mulai berbinar.
“Iya.. Jadi sekarang makan bubur ini dulu ya?”
“Tapi buburnya gak enak.” Gerutu Jeonghan dengan bibirnya yang kian mengerucut.
“Enak kok! Nih..” Ucap Seungcheol yang telah mencicipi bubur yang ia genggam.
Jeonghan tergelak melihat Seungcheol yang pasti tengah berbohong agar dirinya mau makan.
“Hahaha iya deh tapi dikit aja ya.” Ucap Jeonghan yang telah luluh.
“Nah gitu dong. AAAAA.” Ucap Seungcheol dengan sesendok bubur yang ia arahkan pada mulut Jeonghan.
Jeonghan mengunyahnya perlahan.
“Hmm not bad sih ya rasanya. Lumayan.” Gumamnya dengan mulutnya yang masih penuh.
Seungcheol tersenyum melihat tingkah Jeonghan yang entah mengapa terlihat begitu menggemaskan saat sakit.
Ia kembali menyuapi Jeonghan hingga perlahan, tangannya mendekat pada wajah Jeonghan.
“Pelan-pelan, han. Tuhkan ampe belepotan gini.” Ujar Seungcheol dengan tangan kananya yang mengelap ujung bibir Jeonghan.
Keduanya bersitatap. Entah mengapa jarak kedua wajah itu seakan begitu dekat.
Tatapan keduanya semakin dalam dan dalam.
Entah apa yang tengah mereka fikirkan.
Kedua wajah itu kian mendekat.
10 cm
5 cm
3 cm
Seungcheol terhenti. Ia teringat pada sang kekasih yang muncul di fikirannya tiba-tiba.
“Eh i-ini buburnya diabisin ya, han.” Ujar Seungcheol memecah keheningan diantara keduanya.
“I-iya, mas. Eh nggak.”
“Gimana, han?”
“Aku kenyang.” Ujar Jeonghan dengan bibirnya yang telah ia tutup rapat.
“Ya udah, minum obatnya aja ya sekarang?” Tanya Seungcheol dengan begitu lembut.
Jeonghan mengangguk dengan senyum yang terpancar di wajahnya.